Definisi Tayamum
1. Definisi Tayamum
Menurut bahasa, tayamum berarti menuju ke debu. Sedangkan menurut pengertian syari'at, tayamum adalah mengusap debu ke wajah dan kedua tangan dengan niat untuk memdirikan shalat atau lainnya. Tayamum ini telah ditetapkan melalui Al-Qur'an Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci). Usaplah wajah dan tangan kalian." (An-Nisa: 43)
Dalam hadits diriwayatkan dari Abu Umamah disebutkan, bahwa Rasulallah pernah bersabda:
"Telah dijadikan seluruh tanah di bumi ini untukku, sebagai tempat bersujud dan bersuci. Karenanya, di mana saja waktu shalat itu tiba menghampiru umatkuz mqka tanah dapat mensucikannya." (HR. Ahmad)
Adapun ijma' para ulama memperbolehkan tayamum sebagai pengganti wudhu' atau mandi pada waktu dan kondisi tertentu.
2. Sebab Disyari'atkannya Tayamum
Mengenai disyari'atkannya tayamum ini terdapat sebuah riwayat dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dimana ia menceritakan:
"Kami berpergian bersama dengan Nabi dalam satu perjalanan. Ketika kami sampai di Baida' kalungku hilang. Karena itu Nabi berhenti untuk mencarinya. Begitu pula seluruh rombongan turut berhenti bersama dengan beliau. Sedangkan ditempat itu tidak ada air dan mereka tidak membawa air. Karena itu mereka mendatangi Abu Bakar, lalu berkata mereka, 'Tidakkah anda perhatikan Aisyah? Karena ulahnya Nabi dan seluruh rombongan berhenti. Padahal disini tidak ada air dan rombongan tidak membawa air pula. ' Maka Abu Bakar mendatangiku, dan pada saat itu Nabi sedang tidur, dengan kepalanya diatas pahaku. Kemudian Abu Bakar mengata-ngataiku sepuas hatinya, sehingga ditusuknya rusukku dengan tangannya. Aku tak dapat bergerak, karena Nabi tidur di pahaku, dan beliau tertidur sampai subuh tanpa air. Maka Allah menurunkan ayat tayamum: "Maka hendaklah kalian bertayamum. "Lalu Usaid bin Hudhair berkata: 'Ini bukanlah berkah yang pertama darimu, hai keluarga Abu Bakar!' Selanjutnya Aisya berkata: 'Ketika unta kami suruh berdiri, kami dapati kalungku berada di bawah unta itu." (HR. Jama'ah kecuali Tirmidzi)
3. Sebab-sebab Diperbolehkannya Tayamum
a. Diperbolehkannya tayamum adalah sebagai ganti wudhu'
Apabila tidak ditemukan air atau karena sakit atau karena tidak ada kemampuan bergerak serta tidak ada orang yang membawakan air untuknya. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Imran bin Hashin, ia menceritakan:
"Kami pernah bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan. Lalu beliau mengerjakan shalat bersama para shahabat. Kemudian beliau mendekati seorang shahabat yang menyendiri seraya bertanya: Apa yang meryebabkan kamu tidak mengerjakan shalat? Shahabat tersebut menjawab: Aku sedang dalam keadaan junub dan aku tidak mendapatkan air untuk mandi. Lalu beliau bersabda: Pergunakanlah debu, karena se-sungguhnya itu telah cukup bagimu. " (HR. Bukhari dan Muslim)
Tayamum juga diperbolehkan apabila seorang muslima/h terserang penyakit yang melarang dirinya menggunakan air atau karena ada luka yang dikhawatirkan penggunaan air akan menambah rasa sakit atau menghambat kesembuhannya. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu Anhu, dimana ia bercerita:
"Kami pernah keluar dalam suatu perjalanan, lalu salah seorang di antara kami tertimpa batu pada bagian kepalanya hingga terluka. Kemudian orang ini bermimpi dan junub. Maka ia pun bertanya kepada shahabatnya: Apakah kalian melihat adanya keringanan bagiku untuk bertayamum? Shahabatnya menjawab: Tidak, karena kamu masih bisa memakai air. Kemudian ia mandi dan ternyata setelah itu ia meninggal dunia. Ketika kami menghadap Rasulullah dan menceritakan peristiwa itu, maka beliau berkata: Shahabatnya itu telah membunuhnya dan Allah akan membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengerti? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Sebenarnya ia cukup bertayamum saja dan membalutkan kain perban pada lukanya, lalu mengusap bagian di atas kain perban itu. Kemudian membasuh seluruh anggota tubuhnya." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Daruquthni dan dishahihkan oleh Ibnu Sakan)
b. Wanita yang pergi ke tempat kerja disertai dengan muhrimnya
Seperti bertani, berburu, mencari kayu atau pekerjaan lainnya, dimana tidak memungkinkan baginya membawa air untuk wudhu'. Kemudian waktu shalat tiba dan tidak ada air padanya. Selain tidak dimungkinkan baginya kembali ke rumah untuk berwudhu', kecuali dengan membatalkan keperluannya itu, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan bertayamum serta tidak perlu mengulangi shalatnya pada saat telah mendapatkan air. Karena, ia dianggap sama seperti musafir yang pergi ke kampung lain.
c. Apabila ia membawa sedikit air
Jika air tersebut dipergunakan berwudhu', maka ia tidak akan memiliki air untuk kebutuhan minumnya. Dalam kondisi seperti ini, ia diperbolehkan bertayamum. Atau jika air tersebut tidak cukup untuk minum bagi hewan tunggangannya, maka diperbolehkan baginya bertayamum. Menurut kesepakatan para ulama, tidak perlu baginya mengulangi shalat. Yang demikian itu karena kepentingan manusia lebih didahulukan daripada shalat. Dengan dalil, apabila seorang muslima/h melihat kebakaran atau mendengar orang yang dalam kesulitan meminta tolong bersamaan ketika ia sedang mengerjakan shalat, maka ia harus membatalkan shalatnya. Sebagaimana hadits tentang seorang pelacur yang menolong anjing kehausan yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, dimana Rasulullah pernah bersabda:
"Ketika seekor anjing mengelilingi sebuah sumur dalam kondisi hampir mati karena kehausan, tiba-tiba seorang wanita pelacur dari Bani Israel melihatnya. Lalu wanita itu menanggalkan terompahnya dan memberi minum anjing tersebut dengan terompah itu, sehingga ia diberikan ampunan oleh Allah." (HR. Muslim)
Jika hal itu diberlakukan bagi seekor anjing, maka terhadap manusia adalah lebih diutamakan.
d. Apabila seorang muslim/h merasa takut
Jika Muslim/muslimah takut terhadap bahaya yang akan menimpanya, seperti jika air itu yang ada dikuasai oleh laki-laki jahat, maka ia berada pada posisi tidak mendapatkan air, sehingga diperbolehkan baginya bertayamum dan tidak perlu mengganti shalatnya. Karena, ia mengkhawatirkan dirinya terjatuh dalam perbuatan yang akan merusak kehormatannya. Atau apabila ia mengkhawatirkan harta kekayaannya, jika ditinggalkan untuk mengambil air, maka ia diperbolehkan bertayamum. Atau apabila ia mengkhawatirkan hewannya akan lari atau dicuri jika ditinggal untuk mengambil air, maka diperbolehkan baginya bertayamum. Demikian juga apabila ia mengkhawatirkan anaknya akan dicuri atau dibunuh, maka ia boleh bertayamum.
e. Apabila di sekitar tempat air terdapat binatang buas
Diperbolehkan baginya untuk bertayamum. Atau apabila ia melihat adanya sumur yang lain, akan tetapi kesulitan untuk mengambil air darinya, maka diperbolehkan baginya membasahi kain suci, lalu mengusapkan ke bagian yang harus dibasuh dalam wudhu'.
f. Musafir yang tidak mendapatkan air.
Hal ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Apabila kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh wanita, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci)." (Al-Maidah: 6)
4. Cara Bertayamum
Tayamum itu dilakukan dengan cara menepukkan kedua tangan ke tanah yang suci dengan satu kali tepukan, kemudian mengusapkannya ke wajah dan kedua tangan, sebagaimana sabda Rasulullah dalam sebuah hadits tentang kisah Ammar:
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا وَضَرَبَ بِيَدِهِ الأَرْضَ فَمَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفِّيْهِ.
متفق عليه
"Sebenarnya cukup bagimu begini, seraya menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah dan mengusapkan ke wajah serta kedua tangannya". (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Apabila seoran muslima/h bertayamum lebih dari satu kali tepukan atau usapan, maka Insya Allah hal itu diperbolehkan. Sedangkan bagi muslima/h yang mengusap tangan lebih dari batas pergelangan, maka tayamumnya pun tetap dibenarkan.
5. Debu Yang Dipergunakan Bertayamum
Dalam bertayamum diperbolehkan memakai debu yang suci dan segala sesuatu yang sejenis dengan tanah seperti kerikil, batu atau kapur, sebagaimana difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla:
"Maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). "(An-Nisa":43)
Para ahli bahasa telah sepakat, bahwa "Ash-Sha'id" memiliki arti per-mukaan tanah, baik itu berupa debu atau yang lainnya.
6. Hal-hal Yang Boleh Dilakukan Dengan Tayamum
Muslima/h yang bertayamum diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang boleh dilakukan bagi muslima/h yang telah berwudhu' atau mandi, baik itu shalat, membaca maupun menyentuh Al-Qur'an. Selain itu, ia juga diperbolehkan thawaf di sekeliling Ka'bah serta berdiam di masjid. Dengan satu kali tayamum, ia juga diperbolehkan untuk melakukan shalat wajib maupun sunnat. Dalil yang menjadi landasan dari pendapat ini adalah hadits dari Abu Dzar, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
إِنَّ الصَّعِيدَ طَهُورُ الْمُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَإِذَا وَحَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرًا. رواه أحمد والترمذى
"Sesungguhnya tanah itu dapat mensucikan bagi orang muslim, meskipun ia tidak menemukan air selama sepeluh tahun. Setelah menemukan air, maka hendaklah ia mengusapkan ke kulitnya, karena yang demikian itu adalah lebih baik." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
7. Hal-hal Yang Membatalkan Tayamum
Hal-hal yang dapat membatalkan tayamum adalah sebagai berikut:
a. Semua yang membatalkan wudhu'. Karena, tayamum itu merupakanpengganti wudhu'.
b. Apabila mendapatkan air sebelum atau pada saat mengerjakan shalat, maka diharuskan untuk membatalkan shalatnya dan berwudhu' lagi menggunakan air. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah:
التُّرابُ كَافِيْكَ مَا لَمْ تَجِدِ الْمَاءَ، فَإِذَا وَجَدْتَ الْمَاءَ فَأَمَسَّهُ جِلْدَكَ. ورواه أبو داود
"Debu itu cukup bagimu untuk bersuci, selama kamu tidak mendapatkan air. Apabila kamu telah mendapatkan air, maka usapkanlah ia ke kulitmu" (HR. Abu Dawud)
Sedang apabila ia mendapatkan air setelah selesai shalat, maka shalat yang telah dilakukan adalah sah dan ia tidak perlu mengulanginya kembali. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:
لا تُصَلُّوْا صَلَاةٌ فِي يَوْمٍ مَرَّتَيْنِ. (رواه النسائي وأبو داود وأحمد وابن حبان)
"Janganlah kalian mengerjakan (fardhu) shalat sampai dua kali dalam satu hari." (HR. Nasa'i, Abu Dawud, Ahmad, serta Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Ibnu Sakan)
Selain itu, wanita muslimah juga harus melepaskan cincin yang ia kenakan ketika bertayamum, sehingga tayamumnya benar-benar sah.
8. Hukum Bagi Wanita Junub Apabila Tidak Mendapatkan Air
Bagi muslima/h yang sedang dalam keadaan junub, lalu tidak mendapatkan air, maka diperbolehkan baginya bertayamum, sebagaimana Ammar bin Yasir pernah bercerita:
بَعَثَنِي النَّبِيُّ ﷺ فِي حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ فَتَمَرَّغْتُ فِي الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغَ الدَّابَّةُ ، ثُمَّ أَتَيْتُ النبي ﷺ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: إِنَّمَا يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ بِيَدَيْكَ هَكَذَا. ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ مَسَحَ السِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ، وَظَاهِرَ كَفِّهِ وَوَجْهِهِ. (متفق عليه)
"Aku pernah diutus Rasulullah untuk suatu keperluan. Kemudian aku junub dan tidak menemukan air. Lalu aku berguling-guling di atas tanah, seperti layaknya binatang ternak. Selanjutnya aku mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menceritakan hal itu. Lalu beliau berkata: Sebenarnya cukup bagimu melakukan dengan kedua tanganmu begini. Maka Nabi pun memberikan contoh dengan menepukkan kedua tangan beliau ke tanah sekali tepukan dan mengusapkan tangan kiri ke tangan kanan, lalu pada bagian belakang telapak tangan serta wajahnya." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
9. Hukum Bagi muslim/h Yang Pada Tubuhnya Terdapat Luka
Apabila seluruh bagian wudhu' dalam keadaan luka, maka dimungkinkan bagi muslim/h untuk bertayamum. Jika tidak juga memungkinkan baginya untuk bertayamum, maka diperbolehkan baginya shalat sesuai dengan keadaan yang dialaminya.
Sedang apabila luka itu hanya terdapat pada sebagian dari anggota wudhu'. lalu ia bertayamum, maka shalatnya menjadi tidak sah. Untuk itu, ia diharuskan berwudhu' pada sebagian dari anggota wudhu' yang tidak luka dan luka yang tidak memungkinkan untuk diusap dengan air boleh ditinggalkan. Bukankah
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah befirman:
"Sekali-kali Allah tidak menjadikan bagi kalian, dalam urusan agama ini suatu kesulitan." (Al-Hajj: 78)
10. Hukum Bagi Yang Mendapatkan Air Tetapi Hanya Cukup Untuk Sebagian Badannya Saja
Imam Ahmad mengatakan: "Apabila muslim/h yang sedang junub mendapatkan air untuk mensucikan sebagian dari anggota tubuhnya saja, maka ia wajib menggunakannya. Adapun untuk anggota tubuh yang tidak terkena air dapat disucikan dengan melakukan tayamum." Sementara Imam Syafi'i berpendapat, bahwa wanita tersebut harus berwudhu', sekaligus bertayamum. Hal ini juga dikemukakan oleh Imam Malik dan Ibnu Mundzir. Akan tetapi Imam Syafi'i juga berpendapat, bahwa ia harus bertayamum dengan meninggalkan air itu, karena air tersebut tidak dapat mensucikan dirinya secara keseluruhan, dimana kedudukannya sama seperti air musta'mal.
11. Boleh Bertayamum dengan Menggunakan Apa Saja Yang di Dalamnya Terdapat Unsur Debu
Muslim/h juga diperbolehkan bertayamum dengan menggunakan bulu, pakaian, maupun pelana kuda yang padanya menempel unsur debu. Bahkan jika pada tangannya sendiri terdapat debu yang menempel, maka diperbolehkan bertayamum dengannya. Apabila ia menepukkan kedua tangannya kedinding, pada tubuh hewan atau apapun juga yang suci dan terdapat unsur debu yang menempel, maka ia boleh bertayamum dengannya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu:
أنَّ النبي ﷺ ضَرَبَ يَدَيْهِ عَلَى الْحَائِطِ وَمَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ، ثُمَّ ضَرَبَ ضَرْبَةً أُخْرَى فَمَسَحَ ذِرَاعَيْهِ {روه أبو داود}
"Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menepukkan kedua telapak tangan beliau ke dinding dan mengusapkan keduanya ke wajah. Kemudian menepuk untuk kedua kalinya, lalu mengusapkan pada kedua lengannya." (HR. Abu Dawud)
12. Dilarang Bertayamum dengan Sesuatu Yang Tidak Suci
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini. Demikian menurut Imam Syafi'i dan para pengikut Abu Hanifah. Akan tetapi, Al-Auza'i membolehkan tayamum dengan menggunakan debu kuburan. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
"Maka bertayamumlah kalian dengan menggunakan tanah yang baik (suci)." (An-Nisa': 43)
Artinya najis bukanlah sesuatu yang baik. Selain itu, karena tayamum merupakan usaha untuk bersuci, maka tidak boleh menggunakan sesuatu yang tidak suci, seperti halnya dengan wudhu'. Sedangkan pada tanah kuburan, apabila tidak tergali, maka debunya suci. Namun, apabila telah tergali dan bekas mayat yang berada di dalamnya berserakan, maka tidak diperbolehkan bertayamum menggunakan debunya. Karena, telah bercampur dengan nanah dan daging sang mayat.
Apabila ragu pada terurainya tubuh mayat atau adanya najis pada debu yang digunakannya untuk bertayamum, maka tayamum yang dilakukan dapat dianggap benar. Karena, hukum pokoknya adalah bahwa kesucian itu tidak hilang karena adanya keraguan, sebagaimana jika ia ragu dalam bersuci dengan menggunakan air.
13. Dibolehkannya Tayamum Secara Bersamaan Dalam Satu Tempat
Sekelompok muslim/h diperbolehkan bertayamum secara bersamaan dalam satu tempat. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini, sebagaimana dibolehkannya berwudhu' bersama dalam satu bejana. Sedangkan mengenai bekas debu dari usapan wajah dan kedua tangan, dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pertama, pendapat Abu Hanifah yang membolehkan tayamum dengan menggunakan bekas debu tersebut. Karena, menurutnya, debu tersebut tidak mengangkat hadats. Kedua, pendapat Imam Syafi'i yang melarang penggunaan bekas debu yang berguguran dari wajah dan kedua tangan untuk bersuci. Sebab, kedudukannya sama dengan air musta 'mal (terpakai) di dalam thaharah.
14. Tayamum Bagi Wanita Haid Ketika Terhentinya Darah
Apabila darah telah berhenti mengalir dari diri seorang wanita yang menjalani masa haid, lalu ia telah bertayamum, maka suaminya diperbolehkan berhubungan badan dengannya. Akan tetapi, apabila telah mendapatkan air, maka ia harus mandi dan tidak diharuskan mengulangi kewajiban yang telah dilakukan sebelumnya.
15. Apabila Seorang Junub Terlupa dan Bertayamum Untuk Mengerjakan Shalat
Apabila seorang muslim/h lupa bahwa ia sedang dalam keadaan junub, lalu bertayamum untuk mengerjakan shalat, maka hal ini tidak dapat dibenarkan. Karena, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
"Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan bagi masing-masing orang bergantung niat tersebut. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya itu karena dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu karena yang ditujunya." (HR. Jama'ah)
Dalam hal ini, orang tersebut tidak berniat untuk bersuci dari jenabat, sehingga tayamum yang ia lakukan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Apabila ia bertayamum dengan niat bersuci dari jenabat saja, tanpa hadats kecil, maka diperbolehkan baginya apa yang boleh dilakukan oleh orang yang berhadats kecil seperti membaca Al-Qur'an dan berdiam diri di dalam masjid. Akan tetapi, tidak diperbolehkan baginya mengerjakan shalat, thawaf dan menyentuh mushhaf Al-Qur'an. Jika ia berhadats kecil, maka hal itu tidak mempengaruhi tayamum yang telah dilakukan. Karena, tayamum itu telah menjadi pengganti mandi. Sedang apabila ia bertayamum dengan niat bersuci dari jenabat dan hadats kecil, kemudian ia terkena hadats kecil, maka tayamum yang dilandasi niat menghilangkan hadats kecil tersebut menjadi batal, sementara tayamum yang diiringi dengan niat bersuci dari jenabat masih tetap berlaku.
16. Orang Yang Tidak Mempergunakan Air Kamar Mandi
Apabila seorang muslim/h menderita sakit, dimana penyakit itu diderita pada sebagian dari tubuhnya, sehingga ia tidak mampu membasuhnya dengan air dingin atau air hangat, maka diperbolehkan baginya mengerjakan shalat dengan bertayamum. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Menurut Imam Syafi'i, ia harus membasuh bagian tubuh yang mungkin bisa untuk dibasuh dan sisanya disucikan dengan bertayamum.
Sedangkan apabila ia mampu membasuh bagian terbesar dari anggota tubuh (wudhu') yang harus dibasuh, maka ia tidak perlu bertayamum. Sebaliknya, apabila ia hanya mampu membasuh bagian terkecil darinya, maka ia diperbolehkan bertayamum. Demikian menurut pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik
17. Tayamum Bagi Jenazah
Apabila keberadaan air sulit didapatkan karena alasan-alasan seperti yang kami sebutkan sebelumnya, maka diperbolehkan tayamum bagi mayit wanita. Akan tetapi, tayamumnya menjadi batal apabila pada saat didapatkan air dan berkewajiban memandikannya.
18. Hukum Mengusap Kedua Sepatu dan Kaus Kaki
Sebagian ulama berpendapat, bahwa mengusap kedua sepatu atau kaus kaki yang robek. Pada saat berwudhu' itu diperbolehkan dan inilah pendapat yang menjadi pilihan kami. Yang menjadi dasar dari pendapat tersebut adalah, bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu diperbolehkan. Adapun bagi yang memberikan beberapa batasan padanya adalah tidak dibenarkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ . متفق عليه
"Setiap syarat yang tidak terdapat di dalam Kitab Allah (Al-Qur'an) adalah batal." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Ats-Tsauri pernah berkata: "Usaplah bagian atas dari apa yang menempel pada kaki Anda (pada saat bersuci). Bukankah sepatu orang-orang Muhajirin dan Anshar itu rata-rata berlubang, robek dan ditambal? Hadits ini diriwayatkan oleh Abdurrazzak dan Baihaqi."
Jika pada kedua sepatu atau apa yang menempel pada kaki itu terdapat robekan kecil maupun besar, pendek maupun lebar, sehingga ada sedikit maupun banyak dari kulit kaki yang terlihat, maka diperbolehkan mengusap bagian tersebut, selama pada kedua kaki tersebut masih menempel sesuatu. Demikian menurut pendapat Ats-Tsauri, Dawud, Abu Tsaur, Ishak dan Yazid bin Harun Sedangkan Ibnu Taimiyah berpendapat: "Diperbolehkan mengusap bagian atas kaus kaki atau pada salah satu permukaannya. Demikian juga pada sepatu yang terdapat robekan, selama masih dimungkinkan berjalan di atasnya. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi'i dan Abu Barakah serta ulama lainnya.
19. Cara Mengusap Sepatu dan Kaus Kaki
Langkah pertama adalah membasahi kedua tangan dengan air, lalu meletakkan telapak tangan yang kiri di bagian bawah sepatu atau kaus kaki, sedangkan telapak tangan sebelah kanan diletakkan pada jari-jemari kakinya. Kemudian mengusapnya sampai mata kaki, dan telapak tangan kiri menuju ke ujung jari-jemari kakinya. Apabila hanya mengusap bagian atas sepatu, maka hal itu juga diperbolehkan, sebagaimana sabda Rasulullah:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْحُفْ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاه.ورواه أبو داود
"Seandainya agama itu ditetapkan dengan akal, maka bagian bawah sepatu adalah lebih patut diusap dari pada bagian atasnya." (HR. Abu Dawud dengan isnad hasan)
20. Hukum Bagi Orang Yang Berwudhu' dan Mengusap Kaus Kaki
Kemudian Melepasnya Para ulama berbeda pendapat mengenai wanita yang melepas sepatu atau kaus kaki setelah berwudhu' dan mengusapnya. Di antara mereka ada yang berpendapat:
Pertama, wudhu'nya tetap sah dan ia tidak berdosa.
Kedua, la berkewajiban membasuh kedua kakinya saja,
Ketiga, la berkewajiban untuk mengulangi wudhu'nya.
Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat pertama adalah lebih rajih, karena lebih tepat. Sebab, usapan itu merupakan keringanan dan kemudahan dari Allah Subahanahu wa ta'ala.
21.Mengusap Gip (Perban)
Mengusap gip adalah dengan cara membasahi tangan dan mengusap bagian atas gip secara keseluruhan satu kali. Dalam mengusap sepatu, gip maupun penutup kepala, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, apa yang diperbolehkan bagi laki-laki diperbolehkan juga bagi wanita.