Pembagian Shalat

Wahyu Ayatullah
0

 kita pintar



Pembagian Shalat Serta Shalat Dalam Keadaan Tertentu


1. Pembagian Shalat

Shalat yang telah disyari'atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai penyuci hati dan ungkapan rasa syukur atas berbagai nikmat yang telah diberikan-Nya terbagi tiga, yaitu: shalat wajib, shalat sunnat dan shalat nafilah.

a. Shalat wajib

Barangsiapa mengerjakan shalat wajib, maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan keridhaan padanya. Sebaliknya, barangsiapa bermalas-malasan untuk mengerjakannya, berarti ia telah melakukan dosa besar. Shalat wajib itu diperintahkan sebanyak lima kali dalam satu hari satu malam, yang harus dikerjakan oleh setiap wanita muslimah yang berakal dan telah baligh.

b. Shalat sunnah

Di antara shalat sunnat dimaksud adalah shalat Witir, shalat dua raka'at setelah wudhu', shalat Dhuha, shalat Tarawih dan qiyamu Ramadhan, serta qiyamul lail. kesemuanya itu bukanlah termasuk sunnat mu'akkadah. Mengenai masalah ini, akan kami uraikan pada pembahasan tersendiri.

c. Shalat nafilah

Shalat sunnat nafilah adalah selain dari sunnat mu'akkadah. Yaitu, shalat sunnat yang menyertai shalat fardhu, baik malam maupun siang hari. Shalat sunat ini memiliki waktu tertentu, yang tidak dapat dikerjakan kecuali pada waktunya. Insya Allah akan kami uraikan pada pembahasan berikutnya.

2. Syarat Wajib Shalat

a. Shalat itu tidak diwajibkan kecuali bagi wanita muslimah yang telah mengucapkan syahadatain. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah kepada Mu'adz:

فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لا إله إلا الله، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَأَعْبُرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ سَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ. رواه أبو داود والحاكم 

"Serulah mereka untuk bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Apabila mereka memenuhi seruanmu itu, maka beritahukan bahwa Allah telah mewajibkan bagi mereka shalat sebanyak lima waktu dalam satu hari dan satu malam." (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim)


b. Shalat itu hanya diwajibkan bagi mereka yang berakal sehat dan telah mencapai usia baligh, sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

c. Shalat juga diwajibkan setelah memasuki waktunya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

"Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (An-Nisa': 103)

d. Suci dari hadats besar, seperti haid, nifas dan junub. Di samping itu juga suci dari hadats kecil seperti kentut atau lainnya yang dapat disucikan dengan cara berwudhu',

3. Waktu dan Jumlah Raka'at dalam Shalat

a. Shalat Subuh

Waktu shalat subuh itu dimulai dari terbitnya fajar shadiq sampai terbitnya matahari. Shalat ini juga disebut dengan shalat fajar, karena dikerjakan pada awal fajar. Disunnatkan bagi wanita muslimah untuk mengerjakannya pada awal waktu, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits dari Abu Mas'ud Al-Anshari Radhiyallahu Anhu:

أَنَّ رَسُوْلَ الله له صَلَّى صَلاَةَ الصُّبْحِ مَرَّةً بِغَلَسٍ، ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا، ثُمَّ كَانَتْ صَلَاتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ التَّعْلِيسِ حَتَّى مَاتَ، وَلَمْ يَعُدْ أَنْ يسفر ( ورواه أبو داود والبيهقي )

"Bahwa Rasulullah pernah mengerjakan shalat Subuh pada saat masih gelap (pagi buta), dan pernah juga ketika waktu pagi telah mulai terang. Akan tetapi, selanjutnya shalat (subuh) beliau dikerjakan setelah waktu malam berlalu (pagi buta) sampai beliau meninggal dunia dan tidak pernah lagi mengerjakan shalat Subuh pada waktu pagi telah mulai terang." (HR. Abu Dawud dan Baihaqi)


Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia bercerita:


كن بسَاء الْمُؤمِنَاتِ يَشْهَدْت مَعَ النبي صَلَاةَ الْقَمْ مُتَعَاتِ بِمُرُوطِهِنَّ ينقلن إلى يونِهِنَّ حين يقضينَ الصَّلاةَ لا يعرفُهُنَّ أَحَدٌ مِن الفلس، ورواه جماعة 

"Kami semua adalah wanita beriman yang ikut menyaksikan shalat fajar bersama Nabi sambil menyelimuti tubuh dengan kain yang tebal. Kemudian kami kembali ke rumah masing-masing. Pada saat mengerjakan shalat, tidak seorang pun dari kami yang mengetahui siapa yang berada didekatnya karena pekatnya malam." (HR. Jama'ah)

Shalat Subuh ini dikerjakan dalam raka'at. Barangsiapa mendapatkan satu raka'at Subuh sebelum keluarnya waktu, berarti ia mendapatkan shalat Subuh. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah pernah bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاةَ. (ورواه جماعة )

"Barangsiapa telah mendapatkan satu raka'at dalam shalat, maka ia mendapatkan shalat tersebut." (HR. Jama'ah)

Ini menyangkut semua shalat yang diwajibkan Allah kepada wanita muslimah. Oleh karena itu, apabila telah mengerjakan satu raka'at pada waktunya, berarti telah dianggap mengerjakan shalat secara utuh.

b. Shalat Zhuhur

Waktu shalat Zhuhur dimulai dari tergelincirnya matahari, yaitu condongnya matahari dari tengah-tengah langit, sampai bayangan benda sama dengan bendanya. Saat itulah dimulai masuknya waktu shalat Ashar. Jumlah raka'at dalam shalat Zhuhur ada empat.

c. Shalat Ashar

Awal waktu shalat Ashar dimulai ketika bayangan benda sama dengan bendanya sampai menguningnya matahari di ufuk Barat. Jumlah raka'at shalat

Ashar ada empat. Dari Jabir Radhiyallahu Anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ ا يُصلّى الظهر بالهاجرة والعصر والشمس نقية وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَحبَتِ الشَّمْسُ وَالْعِشَاءَ أحيانًا يُؤَخِّرُهَا وَأَحْيَانًا يُعْمَلُ، إذا راهم اسمعوا كل، وإذا رأهُمُ أبطأوا أمر والصبحَ كَانُوا أَوْ كَانَ النبي يُصَلِّيْهَا بِعَلَس. متفق عليه 

"Rasulullah mengerjakan shalat Zhuhur pada saat terik panas sesudah tergelincirnya matahari dan shalat Ashar tatkala matahari bersih (terang sinarnya). Shalat Maghrib ketika matahari terbenam, dan shalat Isya' terkadang diakhirkan dan terkadang di awalkan waktunya. Yaitu, apabila melihat para sahabat telah berkumpul beliau mengawalkan waktunya, dan jika tidak beliau mengakhirkannya. Sedangkan waktu shalat Subuh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya adalah ketika gelap malam masih menyelimuti (pagi buta)." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Shalat Ashar ini dikerjakan dalam empat raka'at dan disebut juga sebagai shalat Wushtha, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini:

"Shalat Wushtha itu adalah shalat Ashar." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

d. Shalat Maghrib

Masuknya waktu shalat Maghrib dimulai dari sejak terbenamnya matahari sampai sebelum menghilangnya awan merah di ufuk Barat. Setelah awan merah menghilang, berarti memasuki waktu shalat Isya'.

Apabila seorang muslim/h telah mengerjakan satu raka'at dari shalat Maghrib masih pada waktunya, baik itu karena alasan atau tanpa adanya alasan, maka ia telah mengerjakan shalat Maghrib secara keseluruhan. Shalat Maghrib ini berjumlah tiga raka'at.

Perlu diketahui oleh para muslim/h, bahwasanya tidak disunnatkan untuk mengakhirkan shalat Maghrib sampai menghilangnya awan merah. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah:

لا تزال الى بعير مَا لَمْ يُؤمرُوا التقرب إلى أن يُشتبك النعم فورواء احده

"Umatku masih tetap baik selama mereka tidak mengakhirkan waktu shalat Maghrib sampai bintang-bintang terlihat gemerlapan." (HR. Ahmad)

Selain itu, juga karena kaum muslimin pada umumnya secara berjama'ah melakukannya dalam satu waktu, yaitu pada awal waktunya.

e. Shalat Isya'

Masuknya waktu shalat Isya' adalah sejak menghilangnya awan merah, yaitu warna merah yang tampak di langit sebagai pengaruh dari sinar matahari.

Apabila awan merah tersebut telah menghilang, berarti telah masuk waktu shalat Isya'. Shalat Isya' dikerjakan dalam empat raka'at.

4. Akhir Waktu Shalat Isya'

Imam Ahmad mengatakan, bahwa akhir dari waktu shalat Isya' adalah pada sepertiga malam. Karena, dalam sebuah hadits tentang malaikat Jibril disebutkan, bahwa beliau pernah shalat bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk yang kedua kalinya pada sepertiga malam, dimana Nabi bersabda yang artinya: 

"Waktu shalat Isya' adalah antara dua waktu ini." Juga dalam hadits dari Buraidah disebutkan, bahwa Nabi mengerjakan shalat Isya' pada hari yang kedua hingga memasuki sepertiga malam".

Demikian pula dari Aisyah Radhiyallahu Anha dinyatakan, bahwa Rasulullah pernah bersabda:

صَلُّوْا فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيبَ الشَّفَقُ إِلَى ثلث الليل. ( متفق عليه )

"Kerjakanlah shalat Isya' pada waktu terbenamnya awan merah sampai sepertiga malam yang pertama." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Abu Hanifah berpendapat, bahwa akhir dari waktu shalat Isya' itu adalah sampai pertengahan malam. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan

dari Anas bin Malik, dimana ia bercerita:

أَحْرَ رَسُولُ اللهِ الله صَلَاةَ الْعِشَاء إِلَى نِصْفِ اللَّيْل. ورواه البخاري

"Rasulullah mengakhirkan shalat Isya' sampai pertengahan malam." (HR. Bukhari)

Demikian juga hadits dari Abdullah bin Umar ia berkata; bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda:

"Waktu shalat Isya' itu sampai pertengahan malam." (HR. Abu Dawud)

Berkenaan dengan masalah ini penulis berpendapat: Diperbolehkan bagi muslim/h mengakhirkan shalat Isya' sampai pertengahan malam, dimana hal itu disebut sebagai waktu darurat yang hukumnya sama seperti waktu darurat dalam shalat Ashar. Jadi, diperbolehkannya melaksanakan shalat Isya' pada sepertiga malam yang pertama, atau pertengahan malam dan bahkan sampai hampir memasuki waktu fajar adalah apabila benar-benar berada dalam kondisi darurat. Adapun yang afdhal (lebih utama) adalah mengerjakan shalat tepat pada waktunya untuk menambah pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

5. Waktu Shalat Yang Utama

Waktu shalat yang utama (afdhal) adalah pada awal waktunya. Mengenai waktu dimaksud terdapat tiga kategori, yaitu: Waktu yang diutamakan, waktu yang diperbolehkan dan waktu-waktu darurat. Waktu yang diutamakan adalah yang paling baik, karena di dalamnya terdapat keutamaan dan pahala. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengakhirkan waktu shalat Zhuhur hingga panas matahari mereda. Yang demikian itu dimaksudkan sebagai rahmat bagi manusia, sehingga tidak menghilangkan kekhusyu'an. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

"Apabila udara sangat panas, maka Rasulullah menunggu sampai panas itu reda. Apabila udara sudah beranjak dingin beliau segera mengerjakan shalat." (HR. Bukhari)

Inilah petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang senantiasa memperhatikan situasi dan kondisi yang dialami umatnya.

Sementara itu, dimakruhkan tidur sebelum mengerjakan shalat Isya'. Karena, dikhawatirkan tidur tersebut akan menjadi penyebab diakhirkannya pelaksanaan shalat Isya'. Sebagaimana dimakruhkannya menunda tidur (berbincang-bincang) setelah mengerjakan shalat Isya'. Kesemuanya itu dimaksudkan agar orang yang tidur tidak kehilangan kesempatan mengerjakan shalat Isya' pada waktunya. Telah diriwayatkan dari Barzah Al-Aslami:

أَنَّ النَّبِيُّ كَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُوَحْرَ الْعِشَاءَ الَّتِي يَدْعُونَهَا الْعَتَمَةَ، وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا. ورواه الجماعة 

"Bahwa Nabi suka mengakhirkan waktu yang para sahabat menyebutnya sebagai Al-Atamah (mengakhirkan shalat Isya'), dan beliau tidak suka tidur sebelum mengerjakannya serta tidak pula berbincang-bincang sesudahnya." (HR. Jama'ah)

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda:

لَوْلاً أَنْ أَشْقُّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ.

"Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka mengakhirkan shalat Isya' pada sepertiga malam atau pertengahan malam." (Hadits hasan shahih)

Hendaklah muslim/h mengetahui, bahwa mereka tidak berdosa apabila mengerjakan shalat di awal waktunya pada shalat yang disunnatkan untuk mengakhirkannya. Sebaliknya, tidak berdosa apabila mengakhirkan shalat yang disunnatkan untuk dikerjakan pada awal waktunya.

6. Mengerjakan Shalat Sebelum Waktunya

Seseorng yang mengerjakan shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya itu tidak sah, baik disengaja maupun tidak. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu Anhuma, bahwa keduanya pernah mengulangi shalat Subuh, karena keduanya mengerjakannya sebelum masuk waktunya.

7. Shalatnya Orang Gila

Muslim/h yang gila tidak dikenakan kewajiban mengerjakan shalat. Tidak juga berkewajiban mengqadha' semua shalat yang telah ditinggalkan selama ia menderita sakit gila tersebut, kecuali jika ia sembuh pada saat memasuki waktu shalat Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini.

Biasanya, sakit gila (hilang akal) itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama, maka kewajiban menggadha" shalat akan memberatkannya. Untuk itu, mereka dimaafkan dan tidak wajib mengqadha'nya.

8. Orang Yang Tidak Sadarkan Diri

Hukum yang berlaku pada muslim/h yang tidak sadarkan diri sama seperti hukum yang berlaku pada orang yang tertidur, dimana kewajiban menggadha shalat atau puasa itu tidak gugur atasnya.

Sedangkan menurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i: "Tidak ada kewajiban bagi seorang muslim/h yang tidak sadarkan diri untuk menggadha shalatnya, kecuali jika ia tersadar pada bagian waktu shalat tertentu. Karena, Aisyah Radhiyallahu Anha pernah bertanya kepada Rasulullah tentang seseorang yang tidak sadarkan diri hingga yang meninggalkan shalat. Maka beliau menjawab: Tidak ada kewajiban menggadha' shalat baginya, kecuali jika ia sadar pada saat memasuki waktu shalat, maka ia harus mengerjakannya."

Sementara menurut Abu Hanifah, bahwa apabila wanita yang tidak sadarkan diri meninggalkan lima kali shalat, maka ia harus mengqadha'nya. Akan tetapi, apabila lebih dari lima, maka gugur kewajiban mengqadha'nya, sebagaimana yang berlaku pada orang gila.

9. Orang Yang Hilang Kesadarannya

Seseorang yang minum obat sehingga kehilangan kesadarannya, apabila hal ini tidak berlangsung lama, maka hukum yang berlaku padanya sama seperti wanita yang tidak sadarkan diri. Sedang apabila berlangsung lama, maka hukum yang berlaku padanya sama seperti yang berlaku pada orang gila, dimana kewajiban mengerjakan shalatnya menjadi gugur, kecuali setelah kembali normal.

Jika hilangnya kesadaran tersebut diakibatkan oleh minuman yang memabukkan, maka hal ini akan berlangsung dalam waktu terbatas dan kewajibannya tidak menjadi gugur. Untuk itu, ia berkewajiban mengqadha' shalat yang ditinggalkan selama hilangnya kesadaran itu berlangsung. Mengenai hal ini tidak ada perbedaan pendapat.

10. Shalat di Kapal

Mengenai shalat di atas kapal ini terdapat dua pendapat: 

Pertama, dimungkinkan bagi  muslim/h shalat di atas kapal dengan disertai ruku dan sujud. Akan tetapi, sujud yang dilakukan haruslah lebih rendah daripada ruku'. Selain itu, ia juga harus menghadap kiblat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu:

رأيتُ رَسُولَ اللهِ . يُصلي على حمارٍ وَهُوَ متوجة إلى خيبر . رواه ابوداود والنسائي

"Aku pernah menyaksikan Rasulullah shalat di atas keledai dengan menghadap ke arah Khaibar." (HR. Abu Dawud dan An-Nasa'i)

Sedangkan Jabir Radhiyallahu Anhu pernah berkata:

بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي حَاجَةٍ فَلْتُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ وَالسُّجُودِ أَخْفَضُ مِنَ الرُّكُوعِ. ورواه أبو داود

"Rasulullah pernah mengutusku untuk suatu keperluan. Kemudian aku datang pada saat beliau tengah mengerjakan shalat di atas kendaraannya yang menghadap ke arah Timur, dimana posisi sujud beliau lebih rendah daripada ruku 'nya." (HR. Abu Dawud)

Kedua, apabila tempatnya luas, dimana seorang muslimh dapat berputar-putar sesuai keinginannya, maka ia harus menghadap arah kiblat dan mengerjakan shalat di tempat itu, sebagaimana ia mengerjakan shalat di masjid. Juga dimungkinkan bagi seorang muslim/h untuk mengerjakan shalat di atas binatang tunggangan seperti keledai, kuda dan unta. Apabila hewan yang dikendarainya itu najis, maka harus diberi alas yang memisahkan dirinya dari tubuh hewan tersebut, agar wudhu'nya tidak batal.

11. Shalat Orang Yang Menaiki Kereta

Berkenaan dengan orang yang menaiki kereta terdapat dua pendapat:

Pertama, apabila tidak dapat menghadap ke arah kiblat, maka ia tidak berkewajiban atasnya dan ia juga harus melakukan ruku' serta sujud, dimana posisi sujud lebih rendah daripada ruku'. 

Kedua, apabila dimungkinkan baginya menghadap ke arah kiblat, maka ia harus memulai shalat dengan menghadap kiblat. 

Sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ لا كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ كَانَ وَجْهَهُ رَكَابُهُ. ورواه أحمد وأبو داود

"Apabila Rasulullah melakukan perjalanan, dan hendak mengerjakan shalat, maka beliau menghadapkan untanya ke arah kiblat. Kemudian beliau bertakbir dan melanjutkan shalat menghadap ke arah mana kendaraannya itu berjalan." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Apabila ada kemungkinan bagi seorang muslim/h menghadap kearah kiblat ketika memulai shalat, maka ia harus melakukannya, sebagaimana dalam semua shalat yang ia kerjakan selain di atas kendaraan.

12. Seorang Musafir Yang Berniat Menetap

Apabila seorang wanita muslimah memasuki suatu negeri (kampung)

dengan niat menetap di sana, maka ia harus mengerjakan shalat seperti shalatnya seorang yang bertempat tinggal di negeri tersebut. Akan tetapi, jika tidak berniat menetap di sana, maka dimungkinkan baginya menggasher shalat, sebgaimana shalatnya seorang musafir

13. Shalat Yang Tertinggal

Apabila ada shalat yang tertinggal, maka seorang muslim/h berkewajiban menggadha'nya secara tertib dan beraturan. Jika la lupa, maka gugur kewajiban untuk mengerjakannya secara tertib. Mengenai hal ini, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

"Umarku diberikan maaf karena kesalahan dan lupa. " (Irwaaul Ghaliil)

14. Seseorang Yang Berijtihad Menentukan Arah Kiblat

Apabila seorang muslim/h telah mengerjakan shalat dengan suatu ijtihad untuk menentukan arah kiblat, kemudian ia hendak mengerjakan shalat yang lain lagi, maka ia harus mengulangi ijtihadnya tersebut. Atau dengan kata lain, ia berkewajiban mengulangi untuk menentukan arah shalatnya tersebut. Karena, di antara syarat sahnya shalat adalah menghadap ke arah kiblat.

Sedang apabila dua orang mengerjakan shalat, dimana masing-masing menghadap ke arah kiblat yang berbeda, maka shalat keduanya tetap sah. Karena, keduanya berkeyakinan bahwa arah kiblatnya adalah benar.

15. Seseorang Yang Salah Menentukan Arah Kiblat

Apabila seorang muslim/h telah selesai mengerjakan shalat, kemudian ada orang lain yang mengatakan kepadanya "Arah kiblat anda salah dan yang benar adalah begini" kemudian ia mempercayai perkataan orang tersebut, maka ia harus mengulangi shalatnya.

Jika seorang muslim/h tidak mengetahui arah kiblat, maka ia harus berijtihad untuk mengetahuinya. Dengan berdasar pada ijtihadnya itu, maka shalatnya dianggap benar. Akan tetapi, apabila diketahui bahwa arah kiblat dari shalat yang telah dikerjakannya salah, lalu ia meyakini kesalahannya tersebut, maka ia harus mengulangi shalatnya.

Hendaknya seorang muslim/h tidak mengikuti pemberitahuan yang diberikan oleh seorang yang musyrik mengenai arah kiblat. Karena, pemberitahuan, riwayat dan kesaksian seorang kafir tidak dapat diterima. Selain itu muslim/h musyrik/h, pemberitahuan dari seorang fasik juga tidak dapat diterima, karena minimnya keyakinan agama yang dimiliki. Di samping itu, riwayat dan kesaksiannya juga tidak dapat diterima. Demikian juga halnya dengan pemberitahuan anak kecil, baik laki-laki maupun wanita.

Jika seorang muslim/h tidak mengenal pribadi orang yang memberitahu, juga meragukan akan keislaman dan kekufurannya, maka pemberitahuan orang tersebut tidak dapat diterima. Demikian juga apabila tidak diketahui keadilan dan kefasikannya, sebelum ia memberitahukan arah kiblat, dimana keadaan seorang muslim/h didasarkan pada keadilannya selama tidak diketahui yang sebaliknya. Jadi, singkatnya, semua pemberitahuan dari kaum muslimin yang sudah baligh dan berakal sehat, baik laki-laki maupun wanita dapat diterima.

16. Shalat di Kuburan

Hendaklah seorang muslim/h mengetahui, bahwasanya shalat di atas kuburan  hukumnya makruh.

17. Shalat di Tempat Pembaringan Unta

Diperbolehkan melaksanakan shalat di tempat pembaringan unta, kecuali jika tempat tersebut terkena najis. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulallah:

أَمْرَككَ الصَّلاةُ فَصَلِّ فَإِنَّهُ مَسْجِدٌ. ( متفق عليه )

"Dimana saja kamu berada dan memasuki waktu shalat, maka laksanakanlah, Karena, dimana kamu berada merupakan tempat sujudmu".(Muttafaqun 'Alaih)

18. Shalat di Kamar Mandi

Tidak diperbolehkan mengerjakan shalat di kamar mandi. Hal ini dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

كلها مسجد إلا الْحَمَّامُ وَالْمَقْبَرَةُ. رواه أبو داود

"Seluruh bumi ini adalah masjid, kecuali kamar mandi dan kuburan". (HR. Abu Dawud)

19. Shalat di Kandang Kambing

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu Anhu, bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah: "Apakah kami boleh melaksanakan shalat di kandang kambing? Rasulullah menjawab: Boleh. Lalu orang tersebut bertanya kembali: Apakah kami juga boleh mengerjakan di tempat pembaringan unta? Maka beliau menjawab: Tidak. (HR. Muslim)

20. Shalat di Tempat Puing-puing

Dimakruhkan shalat di atas puing-puing yang didasarkan pada sabda Nabi pada saat bersabda kepada para sahabatnya ketika melewati bebatuan:

لا تدخلوا على هؤلاء المعدين إلا أن تكونوا باكين أن يُعيكُمْ مِثل ما أصابهم ورواه البخاري ومسلم والطبرانی)

"Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang telah di adzab ini, kecuali kalian menangis karena takut mendapat musibah seperti yang menimpa mereka." (HR. Bukhari, Muslim dan Thabrani)

21. Shalat di Dalam Gereja

Dimakruhkan shalat di dalam gereja. Karena, shalat di gereja merupakan salah satu bentuk pengagungan dan penghormatan terhadapnya.

22. Shalat di Tempat Penyembelihan, Tempat Sampah dan Di Tengah Jalan

Tempat-tempat tersebut tidak boleh dipakai untuk melaksanakan shalat, apabila terkena najis. Karena, kesemuanya itu merupakan tempat bersarangnya najis. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, shalat di tempat-tempat tersebut tidak dilarang.

Sedangkan menurut pendapat penulis sendiri, shalat di tempat-tempat tersebut diperbolehkan, apabila diketahui kebersihan dan kesuciannya, sehingga shalat yang dikerjakan tetap sah.



Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)