Bersuci dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan air mutlak dan tanah yang suci.
1.Air Mutlak
Air mutlak adalah air yang suci dan mensucikan. Yaitu air yang masih murni dan belum atai tidak tercampuri oleh sesuatu (najis). Adapun air itu sendiri terdapat beberapa macam, diantaranya adalah:
a. Air laut
b. Air Hujan, salju(es) dan embun
c. Air zamzam / air sumber (air sumur)
d. Air yang berubah karena lama tidak mengalir. Air jenis ini yang disebabkan oleh tempatnya, atau karena tercampur dengan sesuatu yang memang tidak bisa dipisahkan dari air itu sendiri, seperti lumut atau daun yang berada di permukaan air. Dalam hal ini para ulama telah bersepakat menyebutnya sebagai air mutlak.
2. Air yang tercampur oleh sesuatu yang suci
Sesuatu yang suci misalnya minyak za’faron, tepung dan lain sebagainya yang memang secara dzat ia terpisah dari air. maka hukum air ini adalah suci selama masih terjamin kemutlakannya. jika telah keluar dari kemutlakannya dimana tidak dapat lagi disebut sebagai air mutlak maka air tersebut tetap suci akan tetepi tidak dapat mensucikan.
3. Air dalam jumlah yang banyak apabila berubah warnanya karena tidak mengalir
Menurut kesepakatan para ulama, jika air berunah karena tersimpan dan terdiam disuatu tempat (yang tertutup), maka ia tetap suci adanya. Adapun pada air sungai yang mengalir , jika diketahui bahwa airnya berubah karena tercampur oleh benda najis, maka air sungai itu menjadi najis. Sedang apabila tercampuri oleh sesuatu yang suci dan sesuatu yang najis , yang dapat merubahnya tetapu masih diragukan perubahannya, maka tidak dapat disebut najis karena bersandar pada keraguan semata.
Sebagian besar dari sungai-sungai yang besar tidak akan berubah adanya karna aliran-aliran (yang mengandung benda najis) yang mengalir padanya. Akan tetapi, apabila terlihat jelas perubahannya karena tercampur oleh benda najis, maka air sungai itu menjadi najis. Apabila air sungai itu mengalami perubahan bukan karena sesuatu yang najis, maka mengenai kesuciannya terdapat dua pendapat yang masyhur dan sama-sama memiliki dasar pijakan yang dapat dibenarkan.
4. Air Musta’mal
Yang dimaksud dengan air musta’mal disini adalah air yang sudah terpakai atau terjatuh dari anggota badan orang yang berwudhu. Untuk itu hendaklah kita mengetahui bahwa air seperti ini tetap suci keberadaannya sebagaimana air mutlak dan tidak ada satu dalil pun yang mengeluarkan dari kesuciannya.
5. Air Yang Terkena Najis
Mengenai air yang terkena najis ini ada dua macam keadaan, yaitu pertama : Jika najis yang mengenai air itu berubah rasa , warna atau baunya. Menurut kesepakatan para ulama, air yang berada dalam kondisi seperti itu tidak boleh dipergunakan untuk bersuci. Kedua : Jika air masih tetap dalam keadaan suci dan mensucikan, dimana dari salah satu ketiga sifatnya (rasa, warna dan bau) itu tidak ada yang berubah. Pada keadaan seperti ini, air tetap suci dan mensucikan.
6. Air Yang Jumlahnya Mencapai Dua Kullah
Hadits dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda :
“ Apabila jumlah air itu mencapai jumlah dua kullah, maka air itu tidak mengandung kotoran (tidak najis).” HR. Khamsah
Sanad dan matan hadits ini bersetatus mudhtharib (kontradiksi, diragukan). Didalam muqaddimah kitabnya. Ibnu Abdil Barri mengatakan “ Yang menjadi landasan dari pendapat imam Asy-Syaf’i mengenai hadits dua kullah ini merupakan pendapat yang lemah dari sisi teori dan tidak permanen dari sisi atsar. Kemudian imam Asy-Syaf’i telah menetapkan air yang tidak menjadi najis karena terkena atau tercampur benda najis, yaitu selama tidak berubah sifatnya sebanyak dua kullah atau lima geribah.”
Sedangkan penganut mazhab Hanafi menetapkan dua kullah itu sama dengan tempat air yang besar yang satu sisinya tidak goyang apabila sisi lainnya digerakan. Meraka yang tidak menggunakan ukuran dua kullah terpaksa menggunakan ukuran semisal dengannya dalam menentukan jumlah air yang banyak. Misalnya adalah penganut mazhab Maliki. Atau diberikannya semacam rukhshah (keringanan) pada telaga di padang pasir yang terkena tahi unta.
7. Air Yang Tidak Diketahui Kedudukannya
Rasulallah pernah melakukan suatu perjalanan pada malam hari, dimana beliau dan para sahabat melewati seseorang yang tengah duduk dipinggir kolam yang berisi air. Kemudian Umar Radhiyallahu Anhu bertanya : “Apakah ada binatang buas yang minum di kolammu ini pada malam hari?” Maka Rasulallah berkata : “ Wahai pemilik kolam, jangan engkau beritahukan kepadanya (Umar), karena hal itu suatu hal yang keterlaluan (mempersulit diri sendiri).” HR. Ahmad Baihaqi.
Demikian juga terhadap air yang berada di perjalanan, selama kita tidak mengetahui kedudukannya. Karena itu, apabila kita menemukan atau melihat air disuatu tempat, sedang kita tidak mengetahui kesuciannya, maka air tersebut tetap suci. Sebab Allah tidak membebani kita untuk mencari hakikat air tersebut.
Wallahu ‘Alam.