Bab Imam dan Shalat Qashar
1. Mengimami Jama'ah Laki-laki dan Wanita
عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى بِهِ وَبِأَمِّهِ أَوْ عَالَيْهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةُ خَلْقَنَا . ورواه أحمد ومسلم وأبو داود
"Dari Anas bin Malik ia berkata: Bahwa Nabi pernah mengerjakan shalat bersamanya serta ibu dan bibinya. Beliau memerintahkan aku berdiri di samping kanan beliau, sedang kaum wanita berada di belakang kami, tutur Anas bin Malik" (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud)
Masih dari Anas bin Malik ia berkata:
أَنَّ حَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ لِطَعَامِ صَنَعَتُهُ، فَأَكَلَ ثُمَّ قَالَ قَوْمُوْا فَلأُصَلِّي لَكُمْ، فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا، قَدْ سُوْدَ مِنْ طُولِ مَا ليسَ فَنَضَحُهُ بمَاء، فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ ، وَقُمْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ، وَقَامَتِ الْعَجُورُ مِنْ وَرَائِنَا، فَصَلِّي لَنَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ. رواه الجماعة إلا ابن ماجه
"Bahwa nenekku, Mulaikah pernah mengundang Rasulullah untuk makan hidangan yang dimasaknya. Kemudian beliau makan dan selanjutnya beliau berkata: Berdirilah, aku (Nabi) akan shalat mengimami kalian. Maka aku pun berdiri menuju ke tikar yang telah bewarna hitam, karena terlalu lama dipakai. Lalu kupercikkan air pada tikar tersebut. Kemudian Rasulullah berdiri di atasnya. Bersama anak yatim, aku berdiri dibelakang beliau, sedangkan nenekku berada di belakang kami. Selanjutnya beliau pun memimpin shalat dua raka'at untuk kami dan setelah itu kembali, ujar Anası" (HR. Jama'ah, kecuali Ibnu Majah)
Apabila wanita muslimah shalat berjama'ah dengan laki-laki, maka tidak diperbolehkan baginya berdiri di sebelah kanannya, melainkan tepat di belakangnya. Dalam shalat berjama'ah, posisi jama'ah laki-laki tepat di balakang imam, disusul golongan anak-anak (laki-laki) dan selanjutnya jama'ah wanita.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abdurrahman bin Ghanim, dari Abu Malik Al-Asy'ari, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dimana beliau menyamakan antara keempat kategori (imam, orang laki-laki, anak-anak dan wanita) di dalam bacaan, waktu berdiri dan menjadikan raka'at pertama lebih panjang daripada raka'at-raka'at berikutnya, agar orang-orang mau berkumpul. Sementara itu beliau menempatkan orang laki-laki dewasa berada di depan anak-anak (laki-laki) sedang kaum wanita berada di belakang anak-anak.
2. Seorang Laki-laki Mengimami Jama'ah Wanita Saja
Ubai bin Ka'ab pernah datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya berkata: "Wahai Rasulullah, tadi malam aku mengerjakan sesuatu. Apa itu, tanya Rasulullah? Ada beberapa wanita muslimah bertamu di rumah, jawab Ka'ab. Lalu mereka berkata kepadaku: Engkau membaca, sedangkan kami tidak, maka shalatlah bersama kami (menjadi imam). Kemudian aku pun mengerjakan shalat delapan raka'at dilanjutkan dengan witir. Rasulullah pun diam. Ubai berkata: Kami melihat, bahwa diamnya beliau tersebut sebagai keridhaan." (HR. Abu Ya'la dan Thabrani dalam kitabnya Al-Ausath)
3. Sebaik-baik Barisan Wanita
(Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia menceritakan; bahwa Rasulullah bersabda:
خَيْرُصُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا ، وَشَرُّهَا ،أخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ أَخِرُهَا ،وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا. رواه الجماعة إلا البخارى
"Sebaik-baik barisan kaum laki-laki adalah yang terdepan dan yang paling buruk adalah terakhir. Sedangkan sebaik-baik barisan bagi kaum wanita adalah barisan terakhir dan yang paling buruk adalah barisan terdepan.". (HR. Jama'ah, kecuali Bukhari)
4. Wanita Mengimami Jama'ah Wanita
Disunnatkan bagi wanita muslimah mengimami jama'ah wanita. Hal ini sesuai dengan hadits yang menceritakan, bahwa Aisyah Radhiyallahu Anha pernah mengimami kaum wanita, dimana ia berdiri dalam satu barisan bersama mereka. Ummu Salamah juga pernah mengerjakan hal yang sama. Di samping itu Rasulullah juga pernah memerintahkan Ummu Waraqah untuk mengumandangkan adzan dan mengimami shalat yang dikerjakan bersama keluarganya.
5. Shalatnya Kaum Wanita di Masjid
Diperbolehkan bagi kaum wanita pergi ke masjid untuk mengikuti shalat berjama'ah, dengan syarat; harus menghindari segala sesuatu yang dapat mamancing syahwat laki-laki dan menimbulkan fitnah, baik itu berupa perhiasan maupun parfum. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam bersabda:
لا تَمْنَعُوا النِّسَاءَ أَنْ يَخْرُجْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ. ورواه أحمد وأبو داود
"Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid, akan tetapi rumah adalah lebih baik bagi mereka." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
لا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ، وَلْيَحْرُحْنَ نَفِلات. ورواه أحمد وابــوداود
"Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah (dari kaum wanita) untuk melangkah ke masjid-masjid-Nya, dan hendaklah mereka pergi dengan tidak memakai wangi-wangian." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Selain itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda:
أَيمَا امْرَأَةِ أَصَابَتْ بُحُورًا فَلا تَشْهَدُ مَعَنَا الْعِشَاءَ الآخرة. (رواه مسلم وأبوداود والنسائي
"Setiap wanita muslimah dari golongan mana saja yang terkena atau memakai wewangian, maka hendaklah ia tidak mengerjakan shalat Isya' bersama kami." (HR. Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa'i dengan is-nad hasan)
Bagi wanita muslimah, shalat di rumah adalah lebih afdhal, sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits riwayat dari Ummu Humaid Al-Sa'idi. Ia pernah mendatangi Rasulullah seraya berkata:
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku lebih suka shalat bersamamu. Beliau menjawab: Aku mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, shalatmu di kamar adalah lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu adalah lebih baik daripada shalatmu di masjid jami'." (HR. Ahmad dan Thabrani)
6. Bertasbih dan Bertepuk
Diperbolehkan membaca tasbih (Subhanallah) bagi orang laki-laki dan bertepuk bagi kaum wanita jika menemukan kesalahan yang dilakukan oleh imam untuk memperingatkan kepadanya. Atau untuk memberi izin bagi orang yang hendak masuk, menunjukkan jalan bagi orang buta yang hendak lewat atau yang lainnya. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Sahal bin Sa'ad Al-Sa'idi, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَقُلْ سُبْحَانَ اللهِ"، إنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاء والتسيحُ لِلرِّجَال. (ورواه أحمد وأبو داود والنسائي)
"Barangsiapa (laki-laki) mendapatkan kesalahan atau sesuatu yang janggal di dalam shalatnya, maka hendaklah ia mengucapkan Subhanallah. Sedangkan tepukan itu hanya diperuntukkan bagi wanita saja." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa'i)
7. Mengqashar Shalat
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengqashar shalat yang raka'atnya empat menjadi dua, yaitu ketika beliau bepergian sampai kembali lagi ke Madinah. Tidak ada dalil yang menetapkan, bahwa selama beliau bepergian itu mengerjakan empat raka'at penuh. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai hukum qashar itu sendiri, demikian dikatakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Para ulama penganut Imam Hanafi mewajibkan qashar shalat bagi orang yang bepergian. Sedangkan penganut Imam Malik berpendapat, bahwa mengqashar shalat itu merupakan sunnat mu'akkadah (yang ditekankan) untuk dikerjakan secara berjama'ah. Jika seorang musafir tidak mendapatkan teman berjama'ah dengan musafir juga, maka hendaklah ia mengqashar shalatnya sendirian. Adapun bagi orang yang menetap (muqim) dimakruhkan untuk mengikuti shalat berjama'ah dengannya.
Sementara para pengikut Imam Hanbali secara tegas membolehkan qashar shalat. Demikian juga menurut ulama pengikut Imam Syafi'i, boleh mengqashar shalat, apabila telah mencapai jarak yang ditetapkan.
8. Tempat Diperbolehkannya Mengqashar Shalat
Jumhur ulama berpendapat, bahwa qashar shalat menetapkan antara orang yang masih berada di kampungnya sendiri dengan yang sudah keluar dari kampungnya. Yang demikian itu merupakan syarat dan tidak boleh mengqashar shalat sehingga memasuki rumah pertama dari kampung yang lain tersebut. Aku tidak mengetahui, bahwa Nabi mengqashar shalat dalam perjalanannya, melainkan setelah keluar dari perbatasan kota Madinah, demikian ujar Ibnu Mundzir. Anas bin Malik mengatakan: "Aku pernah mengerjakan shalat Zhuhur empat raka'at bersama Rasulullah di Madinah dan menjadi dua raka'at setelah sampai di Dzul-halifah."
Sebagian ulama salaf berpendapat, bahwa orang yang berniat melakukan perjalanan boleh mengqashar shalat, meskipun di rumahnya sendiri.
وَلَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَم. ورواه أحمد
"Tidak diperbolehkan wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian menempuh perjalanan selama satu hari, melainkan bersamanya ada seorang muhrim." (HR. Ahmad)
9. Menjama' Dua Shalat
Diperbolehkan bagi muslim/h menjama' shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, Maghrib dengan Isya', baik itu jama' taqdim maupun ta'khir. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhum, dimana ia menceritakan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ الله يَحْمَعُ فِي السَّفَرِ بَيْنَ صَلاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْر سَيْر، ويَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاء .متفق عليه
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjama' shalat Zhuhur dan Ashar, serta menjama' antara shalat Maghrib dan Isya' (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Apabila melihat salah satu dari keadaan berikut ini, maka diwajibkan bagi muslim/h untuk menjama' shalat di antaranya:
a. Menjama' shalat ketika di Arafah dan Muzdalifah
Para ulama telah sepakat, bahwa jama' taqdim dari shalat Zhuhur dan Ashar yang dikerjakan pada waktu Zhuhur ketika di Arafah serta antara Maghrib dan Isya' yang dikerjakan pada waktu shalat Isya' ketika berada di Muzdalifah merupakan sunnat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
b. Ketika dalam perjalanan
Menurut pendapat jumhur ulama, menjama' shalat ketika sedang dalam perjalanan merupakan amalan yang diperbolehkan. Dalam menjama' dan mengqashar shalat, tidak disyari'atkan adanya niat. Sebagaimaman diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu:
أنَّ النبي ﷺ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ
بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَإِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيْعَ الشَّمْسُ اَخَرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنزِلَ لِلْعَصْرِ، وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلَ ذَلِكَ إِنْ غَابَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَإِنِ ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ أَخْرَ الْمَغْرِبَ -يَنزِلَ لِلْعِشَاء ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا. رواه أبو داود والترمذي)
"Pada saat terjadinya perang Tabuk, Nabi menjama' (taqdim) antara shalat Zhuhur dan Ashar apabila matahari sudah tergelincir sebelum beliau berangkat. Sedang apabila berangkat sebelum matahari tergelincir, maka beliau mengakhirkan waktu shalat Zhuhur sampai datang waktu shalat Ashar (jama' ta'khir). Demikian juga dalam shalat Maghrib, apabila matahari terbenam sebelum beliau berangkat, maka beliau melakukan jama' taqdim antara shalat Maghrib dan Isya'. Sedang apabila berangkat sebelum matahari terbenam, maka beliau mengakhirkan shalat Maghrib hingga waktu Isya' tiba, dimana setelah sampai beliau menjama' antara keduanya." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Imam At-Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini berstatus hasan.
c. Menjama' shalat ketika turun hujan
أن النبي جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ. رواه البخاري
"Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menjama' shalat Maghrib dan Isya' pada malam turunnya hujan." (HR. Bukhari)
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, ia berkata:
مِنَ السُّنْةِ إِذَا كَانَ يَوْمٌ مَطِيرٌ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ.
"Disunnatkan apabila hari turun hujan untuk menjama' antara shalat Maghrib dan Isya'." (HR. Al-Atsram)
Menurut madzhab Syafi'i, melakukan jama' taqdim antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya' diperbolehkan bagi orang yang menetap (muqim), dengan syarat turunnya hujan ketika takbiratul ihram pada pelaksanaan shalat yang pertama dan masih tetap hujan pada saat membaca do'a iftitah pada pelaksanaan shalat yang kedua. Sedangkan menurut Imam Malik, boleh melakukan jama' taqdim di masjid, yaitu antara shalat Maghrib dan Isya', baik karena turunnya hujan maupun tidak atau karena banyaknya lumpur yang menyulitkan untuk memakai sandal. Adapun menjama' shalat Zhuhur dan Ashar karena turunnya hujan adalah dimakruhkan bagi para muqimin. Menurut madzhab Hanbali, diperbolehkan menjama' antara shalat Maghrib dan Isya' saja, baik itu jama' taqdim maupun ta'khir karena turunnya salju, lumpur, karena cuaca yang sangat dingin dan hujan yang menjadikan pakaian basah. Keringanan ini dikhususkan bagi orang yang mengerjakan shalat berjama'ah di masjid yang berjarak jauh dan sulit untuk ditempuh karena turunnya hujan. Sedangkan bagi orang yang tinggal di dekat masjid atau mengerjakan shalat di rumah atau berangkat ke masjid dengan menggunakan sesuatu yang dapat memayungi dirinya dari hujan, maka tidak diperbolehkan baginya menjama' shalat.
d. Menjama' shalat karena sakit atau ada halangan
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, ia berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ الله جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاء بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ. قِيْلَ لابْنِ عَبَّاسٍ: مَاذَا أَرَادَ بِذلِكَ؟ قَالَ: أَرَادَ أَنْ لَايَخْرَجَ أُمَّتُهُ. ورواه مسلم
"Rasulullah pernah menjama' shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya', di Madinah yang bukan disebabkan adanya rasa takut atau hujan. Ibnu Abbas ditanya: Untuk apa hal itu beliau lakukan? Ibnu Abbas menjawab: Hal itu beliau maksudkan, agar umat Islam tidak merasa sulit karenanya." (HR Muslim).
Hadits ini menunjukkan bolehnya menjama' dua shalat, Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya', baik jama' taqdim maupun ta'khir sesuai dengan kebutuhan bagi muslim/h yang menderita sakit keras, sebagaimana diperbolehkan
bagi muslim/h menjama' shalat karena adanya halangan yang memaksa, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hendaknya muslim/h yang menjama' shalat karena suatu halangan, lalu halangan itu berakhir sebelum masuknya waktu shalat berikutnya, maka tiada keharusan baginya untuk mengulangi shalat yang ia jama' tersebut.
10. Etika Perjalanan
a. Dibolehkan melakukan perjalanan pada setiap saat. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyukai perjalanan pada hari Kamis.
Karena, hari Kamis merupakan hari yang penuh berkah dan hari diangkatnya amal perbuatan menuju sang Pencipta (Allah).
b. Disunnatkan membaca do'a yang senantiasa diucapkan oleh orang-orang shalih.
Salah seorang sahabat pernah melakukan perjalanan dan sebelum melakukannya perjalanan ia mendatangi Rasulullah serta berkata: "Wahai Rasulullah, do'akanlah aku. Rasulullah berdo'a untuknya: Semoga Allah membekali takwa kepadamu Orang itu berkata lagi: Tambahkanlah do'a bagiku. Beliau pun mengucapkan: Semoga Allah mengampuni dosamu. Orang tersebut masih berkata: Tambahkanlah lagi do'a untukku. Kemudian Rasulullah berdo'a: Semoga Allah memberikan kemudahan bagimu di mana saja kamu berada."
c. Hendaklah muslim/h yang melakukan perjalanan menitipkan orang yang ditinggalkan kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengucapkan do'a:
أَسْتَوْدِعُكُمُ اللَّهُ الَّذِي لَا تَضِيعُ وَدَائِعُهُ.
"Aku titipkan kalian kepada Allah, yang tidak akan hilang segala apa yang dititipkan kepada-Nya."
Sedangkan keluarga yang ditinggalkan hendaknya juga mendo'akan:
أَسْتَوْدِعُ اللَّهُ دِينَكُمْ وَأَمَانَاتِكُمْ وَخَوَاتِيْمَ أَعْمَالِكُمْ.
"Aku juga menitipkan agama, amanat dan akhir dari amal perbuatanmu kepada Allah.
d. Apabila muslim/h menaiki salah satu sarana transportasi, seperti pesawat, kereta api, mobil maupun binatang, hendaklah ia mengucapkan
do'a:
الله أكبر، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، سُبْحَانَ الَّذِي سَحْرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّوَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ الصَّالِحِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا، أَطْوِعنا بُعْدَهُ، اللّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالْحَلِيْفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْشَاءِ السَّفَرِ، وَكَابَةِ الْمُنْقَلَبِ، وَسُوءِ الْمَنْظَرِ فِي الأَهْلِ وَالْمَالِ. رواه مسلم
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Maha Suci Allah, yang telah menundukkan (kendaraan) ini bagi kami, yang sebelumnya kami tidak kuasai. Kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah, kami memohon kebaikan dan ketakwaan dalam perjalanan kami ini serta amal shalih yang Engkau ridhai. Ya Allah, berikanlah kemudahan kepada kami dalam perjalanan ini, dekatkanlah jaraknya yang jauh bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan pelindung keluarga. Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan dan dari pemandangan yang tidak baik. Juga berlindung kepada-Mu terhadap keluarga dan harta benda yang kami tinggalkan." (HR. Muslim)
e. Sekembali dari perjalanan juga membaca do'a tersebut dengan ditambah do'a berikut ini:
آئیون، تائبون، عَابِدُونَ لِرَبِّنا حَامِدُون.
"Kepada Allah kami kembali, bertaubat, beribadah dan memuji."
f. Apabila singgah di suatu rumah hendaknya mengucapkan do'a:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ كُلِّهَا مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. ورواه مسلم
"Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna secara keseluruhan dan dari kejahatan yang telah diciptakan." (HR. Muslim)
g. Apabila menaiki tempat yang tinggi, hendaknya berdo'a:
اللّٰهُ أكْبَرُ
"Allah Maha Besar."
h. Dan apabila menuruni tempat yang rendah hendaknya berdo'a:
سُبْحَانَ الله. ورواه البخاري
"Maha Suci Allah." (HR. Bukhari)
i. Sebelum memasuki suatu tempat, hendaknya berdo'a:
اللهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ السَّبْع وَمَا أَظْلَلْنَ، وَرَبَّ الْأَرَضِينَ السَّبْعِ وَمَا أَقْلَلْنَ،وَرَبَّ الشَّيَاطِينِ وَمَا أَضْلَلْنَ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا ذَرَيْنَ، أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ الْقَرْيَةِ، وَخَيْرَ أَهْلِهَا، وَخَيْرَ مَا فِيْهَا، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ أَهْلِهَا، وَشَرِّما فِيهَا. ورواه النسائي
"Ya Allah, Penguasa langit tujuh lapis dan segala yang dinaunginya, Penguasa bumi dan apa yang lebih kecil darinya, Penguasa syaitan serta semua yang disesatkan, Penguasa angin dan segala yang diterbangkan, aku memohon kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penduduknya serta kebaikan apa yang terdapat di dalamnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan penduduknya serta segala apa yang terdapat di dalamnya." (HR. An-Nasa'i)
j. Apabila memasuki suatu rumah, hendaklah berdo'a:
توبا توبا، لِرَبِّنَا أَوْبًا لَا يُغَادِرُ صَوْبًا. ورواه أحمد
"Kami bertaubat, kami bertaubat kepada Allah dan kami kembali tanpa meninggalkan dosa." (HR. Ahmad)
Demikian itulah petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bagi semua umatnya.
k. Diharamkan bagi wanita muslimah melakukan perjalanan sendirian, tanpa adanya suami atau muhrim yang mendampingi perjalanannya.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata; Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
لا يَعْلُونَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي محْرَمٍ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةٌ، وَإِنِّي إكتبتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا؟ قَالَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ. رواه أحمد والبخاري وابن حجر
"Janganlah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang wanita, kecuali bersamanya seorang muhrim, dan jangan pula seorang wanita bepergian kecuali bersama muhrimnya. Kemudian seorang laki-laki bertanya kepada beliau: Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku pergi menunaikan ibadah haji. Sedangkan aku mengikuti perang ini dan itu? Maka Rasulullah menjawab: Pergilah menunaikan ibadah haji bersama isterimu." (HR. Ahmad, Bukhari dan Ibnu Hajar)
11. Ketentuan Mengenai Jarak Yang Membolehkan Qashar
a. Dari Yahya bin Yazid, ia bercerita: Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqashar shalat dan ia menjawab:
كَانَ النبي صلى الله عليه و سلم. إِذا خرج سِيْرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ فَرَاسِحَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ.
"Apabila Nabi melakukan perjalanan sepanjang tiga mil atau satu farsakh, maka beliau mengerjakan shalat dua raka'at (menggashar shalatnya)." (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Baihaqi)
Dalam kitabnya Fathul Baari, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengungkapkan, bahwa hadits ini berstatus shahih yang menjelaskan secara jelas dan gamblang mengenai masalah tersebut. Adapun pengulangan antara mil dan farsakh dalam hadits tersebut didukung oleh riwayat Abu Sa'id Al-Khudri, dimana ia pernah berkata: "Apabila Rasulullah melakukan perjalanan sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar shalatnya" (Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dan oleh disebutkan Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Talkhish serta diberikan pengakuan melalui sikap diamnya).
Sebagaimana yang diketahui, bahwa satu farsakh itu kurang lebih sama dengan tiga mil. Sehingga dengan demikian, hadits dari Abu Sa'id Al-Khudri tersebut menghilangkan keraguan yang terdapat pada hadits dari Anas bin Malik, sekaligus menjelaskan; bahwa jarak minimum perjalanan untuk dapat mengqashar shalat itu seperti yang dilakukan oleh Rasulullah adalah tiga mil. Satu farsakh sama dengan 5541 meter, sedangkan satu mil sama dengan 1748 meter. Ada juga pendapat yang mengatakan berdasarkan satu riwayat, bahwa batas minimal dari perjalanan untuk mengqashar shalat adalah satu mil (HR. Ibnu Abi Syu'aibah dengan isnad shahih dari Ibnu Umar). Hal senada juga menjadi pendapat dari Ibnu Hazm, yang dengan disertai oleh argumen tersebut ia tidak membolehkan mengqashar shalat bagi perjalanan yang berjarak kurang dari satu mil, seraya menuturkan: "Bahwa Rasulullah pernah pergi ke tempat pepohonan untuk menguburkan jenazah dan beliau juga pernah pergi ke suatu tanah lapang untuk membuang hajat, akan tetapi beliau tidak mengqashar shalat."
b. Bagi muslim/h diperbolehkan mengqashar shalat selama masih berada dalam perjalanan, meskipun perjalanan tersebut berlangsung lama. Hukum perjalanan tersebut dimulai sejak ia meninggalkan perbatasan kampung yang menjadi tempat tinggalnya, dan berakhir ketika ia sampai di awal perbatasan kampungnya.
c. Diperbolehkan bagi muslim/h yang melakukan perjalanan jauh untuk berbuka puasa. Akan tetapi, jika ia menghendaki, maka diperbolehkan juga berpuasa. Dalam hal ini tetap berlaku baginya hukum musafir, baik perjalanannya itu dengan menggunakan pesawat, kapal atau alat transportasi lainnya.
d. Selain itu, muslim/h juga diperbolehkan mengqashar sebagian dari shalatnya saja. Seperti mengqashar shalat Zhuhur saja, sedangkan pada shalat Ashar tetap mengerjakan empat raka'at.
e. muslim/h juga diperbolehkan meninggalkan shalat sunnat selain shalat sunnat sebelum Subuh. Karena, Rasulullah senantiasa mengerjakannya baik ketika sedang dalam perjalanan maupun tidak. Demikian juga halnya dengan shalat witir. Akan tetapi, apabila ia mengerjakan shalat sunnat, maka baginya pahala yang berlipat ganda.
f. Diperbolehkan bagi muslim/h mengerjakan shalat di pesawat, kapal laut, kereta api dan juga mobil, seraya menghadap ke arah kiblat. Jika tidak bisa menghadap kiblat, maka shalat yang dikerjakannya tetap sah.