Bab Shalat

Wahyu Ayatullah
0

kita pintar


Bab Shalat

Pengertian Shalat

Shalat merupakan salah satu pilar agama yang menduduki peringkat kedua setelah syahadat. Mengerjakannya pada awal waktu merupakan amalan yang terbaik, sedang meninggalkannya merupakan perbuatan kufur. Muslim/h akan ditanya mengenai shalat ini di hadapan Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat kelak, sebagaimana firman-Nya:

"Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (An-Nisa': 103)

Dalam surat yang lain, Allah befirman:

"Peliharalah segala shalat dan shalat wushtha"(. (Al-Baqarah 238)

(Shalat Wustha adalah shalat yang berada di pertengahan waktu. Ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan "shalat wustha" adalah shalat Ashar. Menurut kebanyakan ahli hadits, ayat ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya).

Sedang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

إِنَّ مَا بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ. ورواه مسلم 

"Sesungguhnya tanda-tanda yang ada di antara seorang hamba dengan syirik maupun kufur itu adalah perbuatan meninggalkan shalat." (HR. Muslim)

Juga sabda beliau yang lain:

إِنَّ الْعَهْدَ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ. رواه النسائي

"Sesungguhnya ikatan perjanjian yang membedakan antara kita dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Karenanya, barangsiapa meninggalkan shalat, berarti la telah kufur." (HR. An-Nasa's)

Shalat merupakan pondasi terbaik bagi setiap amal kebaikan di dunia serta rahmat dan kemuliaan di akhirat kelak. Shalat adalah salah satu ibadah mahdhah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah Azza wa Jalla. Shalat juga merupakan seruan yang dikumandangkan Allah Jalla wa 'Alaa kepada semua Nabi dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

"Ya Rabb-ku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Rabb kami perkenankanlah doaku." (Ibrahim: 40)

Juga firman-Nya:

"Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar di dalam memegang janji, dan ia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya (umatnya) mengerjakan shalat dan menunaikan zakat dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya," (Maryam: 54-55)

Dalam surat yang lain, Allah befirman:

"Wahai Maryam, taatlah kepada Rabbmu, sujud dan ruku 'lah bersama orang-orang yang ruku". (Ali Imran: 43)

Juga firman-Nya:

"Dia (Allah) memerintahkan aku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup." (Maryam: 31)

Wanita muslimah yang meninggalkan shalat dianggap telah berbuat kufur, namun tidak berarti telah keluar dari Islam. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam orang-orang yang mengabaikan shalat ini, sebagaimana firman-Nya:

"Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang menyia-nyiakan shalat dan menuruti hawa nafsu, maka mereka kelak akan menemui kesesatan." (Maryam: 59)

Allah juga befirman:

"Maka kecelakaan bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya." (Al-Maa'un: 4-5)


1. Pengertian Shalat

Secara etimologis, shalat berarti do'a, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Berdo'alah untuk mereka, karena sesungguhnya do'a kalian itu menjadikan ketenteraman bagi jiwa mereka." (At-Taubah: 103)

Sedangkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُحِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيطْعَمْ وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ.

"Apabila salah seorang di antara kalian diundang, maka hendaklah ia memenuhinya. Jika sedang tidak berpuasa, maka hendaklah ia makan (makanan yang disuguhkan) dan apabila berpuasa, maka hendaknya ia mendo'akan."

Adapun menurut syari'at, shalat berarti ekspresi dari berbagai gerakan sebagaimana diketahui. Jika dalam suatu dalil terdapat perintah dan petunjuk shalat, maka hal itu berarti secara lahiriyah kembali kepada shalat dalam pengertian syari'at. Shalat merupakan kewajiban yang ditetapkan melalui Al-Qur'an, Al-Hadits dan ijma'. Ketetapan dalam Al-Qur'an disebutkan melalui firman-Nya:

"Dan mereka tidak diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus." (Al-Bayyinah: 5)

Sementara di dalam sebuah hadits yang riwayat Ibnu Umar dinyatakan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, pernah bersabda:


لبي الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلا الله، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ،

وإقام الصلاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصيَامٍ رَمَضَانَ، وَحِجِّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ

سبيلاً .ومتفق عليه كم

"Islam itu didirikan atas lima perkara. Yaitu, bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji di Baitullah bagi orang yang mampu." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Dan yang melalui ijma', para ulama telah bersepakat mewajibkan shalat lima waktu dalam satu hari satu malam.

2. Hikmah Shalat

Shalat lima waktu mampu membawa pelakunya berbuat adil dan mensucikan serta mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, sebagai upaya mempersiapkan diri menghadapi hari kiamat kelak. Sebagaimana shalat juga mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar. Dalam hal ini Allah Jalla wa 'Alaa befirman:

"Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar." (Al-Ankabut: 45)


3. Hukum bagi Yang Meninggalkan Shalat

Menurut ijma' ulama, orang yang meninggalkan shalat karena ingkar, maka ia telah kafir dan keluar dari Islam. Sedang apabila meninggalkan shalat yang masih disertai rasa keimanan dan keyakinan terhadap hukum wajibnya, dimana ia meninggalkannya karena malas atau sibuk, yang menurut syari'at tidak tergolong sebagai alasan yang dapat diterima, maka banyak hadits yang mengkufurkannya dan bahkan mewajibkan untuk membunuhnya. Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dimana pada suatu hari beliau pernah berbicara mengenai shalat seraya bersabda:

"Barangsiapa memeliharanya, maka shalatnya itu merupakan cahaya baginya, juga sebagai bukti dan keselamatan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang tidak memeliharanya, maka tidak akan mendapatkan cahaya burhan serta keselamatan pada hari kiamat kelak dan ia akan dikumpulkan bermasa Qarun, Fr'aun, Haman dan Ubai bin Khalaf." (HR. Ahmad, Thabrani, Ibnu Hibban dan isnad hadits ini jayyid)

Juga dari Ibnu Umar, bahwa Nabi pernah bersabda:

"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada llah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan shalat serta menunaikan zakat. Apabila mereka mengerjakannya, haka darah dan hara kekayaan mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka di tangan Allah Azza wa Jalla." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Secara lahiriyah, hadits di atas menyebutkan, bahwa seseorang yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir dan dihalalkan darahnya. 

Menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i: "Seseorang yang meninggalkan shalat tidak kafir, tetapi fasik dan masih bisa bertaubat. Apabila tidak bertaubat, maka boleh dibunuh sebagai hukuman had baginya."

Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat, "Tidak perlu dibunuh, tetapi harus didera dan dipenjarakan, sehingga ia mau mengerjakan shalat." Mereka yang mengartikan hadits-hadits yang mengkafirkan maupun yang mendasarkannya dengan nash-nash yang bersifat umum, misalnya firmản Allah Subhanahu wa Ta 'ala berikut ini:

"Sesunggurya Allah tidak nmengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan-Nya (syirik) dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. " (An-Nisa: 116)

Juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

لِكُلِّ نَبِي دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ. فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِيٍّ دَعْوَتَهُ، وَإِنِّي اعْتَبَاتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا. رواه أحمد ومسلم الله

"Masing-masing Nabi mempunyai do'a mustajab (yang dikabulkan) dan setiap Nabi menyegerakan do'anya tersebut. Sedangkan aku menyimpan do'aku sebagai syafa'at bagi umatku nanti pada hari kiamat. Insya Allah akan diterima oleh orang yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun." (HR. Ahmad dan Muslim)

Juga pada riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda:

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ. ورواه البخارى دة

"Orang yang paling berbahagia dengan syafa'atku adalah orang yang mengatakan Laa Ilaaha Illallah (tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah) secara tulus dari dalam hatinya." (HR. Bukhari)


4. Fardhu Shalat

Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu Anhu, ia berkata; aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى عِبَادِهِ فِى الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ، فَمَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ كَانَ لَهُ عَهْدٌ عِندَ اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظُ عَلَيْهِنَّ لَمْ يَكُنْ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ. رواه البخاري ومسلم الله

"Shalat lima waktu telah ditetapkan oleh Allah bagi para hamba-Nya dalam satu hari satu malam. Barangsiapa memeliharanya, maka di sisi Allah ia mendapatkan janji untuk dimasukkan surga. Dan barang siapa yang tidak memeliharanya, maka di sisi Allah ia tidak mendapatkan janji tersebut. Apabila Allah berkehendak, maka Dia akan mengadzabnya dan jika Dia berkehendak akan memberikan ampunan kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Shalat yang difardhukan itu ada lima, yang kesemuanya diwajibkan bagi setiap muslim/h yang sudah baligh dan berakal sehat, kecuali yang sedang menjalani masa haid dan nifas.


5. Kapan Shalat itu Diwajibkan

Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan shalat lima waktu pada hari diperjalankannya Rasulullah melalui peristiwa Isra' dan Mi'raj. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, ia bercerita:

"Shalat itu pada awalnya diwajibkan kepada Nabi pada malam diperjalankannya Nabi sebanyak lima puluh kali. Kemudian dikurangi hingga akhirnya menjadi lima. Setelah itu beliau diseru: Wahai Muhammad, sesungguhnya tidak ada firman yang dapat diganti di hadapan-Ku dan dengan lima shalat ini kamu akan mendapatkan pahala sebanyak lima puluh kali lipat." (HR. Ahmad, An-Nasa'i, Tirmidzi dan dishahihkannya)


6. Tidak Boleh Mengakhirkan Waktu Shalat

Pelaksanaan shalat itu tidak boleh diakhirkan waktunya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam dari Qatadah:

أَمَّا إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ ، إِنَّمَا التَّفْرِيْطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاةَ حَتَّى يجيء، وَقتُ الصَّلَاةِ الأُخْرَى، فَمَنْ فَعَلَ ذلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حَتَّى يَنْتَبِه لَهَا . ورواه مسلم

"Sesungguhnya tidak ada kelalaian dalam tidur. Sebab, kelalaian itu hanyalah bagi orang yang belum mengerjakan shalat sehingga datang waktu shalat berikutnya. Barangsiapa terlanjur melakukan hal itu, maka hendaklah ia mengerjakan shalat tersebut sehingga ia memberikan perhatian yang khusus padanya." (HR. Muslim)

Yang demikian itu menunjukkan, bahwa pelaksanaan shalat tidak boleh diakhirkan, karena Nabi menyebutnya sebagai kelalaian. Akan tetapi, diperbolehkan menjama'nya, dimana shalat yang pertama diakhirkan sampai masuk waktu shalat yang kedua, karena Nabi pernah melakukan hal itu. Mengenai masalah ini akan dijelaskan pada pembahasan yang akan datang.


7. Kepada Siapa Shalat itu Diwajibkan


Shalat diwajibkan bagi setiap muslim/h yang berakal sehat dan sudah baligh. Hal ini didasarkan pada hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dimana Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

رفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاثَ، عَنِ النَّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ. رواه أحمد وأصحاب السنن والحاكم

"Ada tiga kelompok yang terbebas dari hukum. Yaitu, orang yang tidur sehingga bangun, anak-anak sehingga dewasa dan orang yang hilang ingatan sehingga sadar." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Al-Hakim)

Hadits ini shahih dengan syarat Bukhari, Muslim dan dishahihkan oleh Imam Tirmidzi. Hadits ini tidak membenarkan shalatnya seorang muslim/h yang hilang ingatan (gila). Karena, ia tidak memiliki kewajiban, sama seperti anak-anak dan tidak wajib mengqadha' kewajiban yang ditinggalkan kecuali telah sembuh pada saat berada dalam satu waktu shalat. Mengenai masalah ini, kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Shalat Bagi Anak-anak

Diwajibkan bagi para ibu untuk mengajarkan shalat kepada anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan. Juga memerintahkan bagi mereka untuk mengerjakannya pada saat berusia tujuh tahun, sehingga mereka terbiasa. Selanjutnya, para ibu diperbolehkan memukul ketika mereka berusia sepuluh tahun, apabila mereka tidak mau mengerjakannya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dimana ia menceritakan, bahwa Rasulullah pernah bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغُوا سَبْعًا، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا إِذَا بَلَغُوا عَشْرًا، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.

"Perintahkan anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah apabila mereka tidak mau mengerjakannya ketika berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka (laki-laki dan wanita)." (HR. Ahmad)

Apabila tidak memungkinkan untuk memisahkan tempat tidur anak-anak karena tempatnya sempit, maka hendaklah masing-masing dari mereka diberikan kain pemisah, sehingga tidak saling bersentuhan.

Para ulama telah menjelaskan usia dimana seorang anak berkewajiban mengerjakan shalat menurut syari'at dan harus dihukum apabila terus-menerus meninggalkannya. Yaitu apabila ia telah mencapai usia baligh. Sebelum masa itu tiba, mereka belum sampai pada usia wajib shalat. Artinya pada usia tersebut hanya sebatas diperintah saja, tanpa ada konsekwensi hukum apapun.


8. Syarat-syarat Shalat

Di antara syarat sahnya shalat adalah sebagai berikut:

a. Suci, 

yaitu suci badan, tempat dan pakaian.

b. Shalat pada waktunya,

Karena hal ini merupakan amalan terbaik.

c. Menutup aurat. 

Dalam shalat, muslim/h harus menutup aurat, bagi muslimah dari ujung kepala sampai ujung kaki. Shalatnya tidak akan sah apabila rambut,lengan, betis, dada atau lehernya terbuka. Sedangkan untuk laki-laki auratnya mulai dari atas pusar hingga bawah lutut.

d. Menghadap kiblat. 

Apabila tidak mengetahui arah kiblat, maka harus bertanya kepada orang yang mengetahuinya. Jika tidak ada orang yang dapat menunjukkan, maka dibolehkan untuk melakukan ijtihad menentukan arah kiblat tersebut dan mengerjakan shalat dengan menghadap ke arah yang dianggap sebagai kiblat. Dalam keadaan seperti ini shalatnya tetap sah.

Hukum bagi orang yang meninggalkan wudhu', mandi janabah, menghadap kiblat dan menutup aurat adalah sama seperti hukum yang berlaku pada orang yang meninggalkan shalat. Demikian juga hukum bagi orang yang tidak melaksanakan berdiri, ruku' dan sujud (rukun dan syarat) dalam shalat, sedangkan ia mampu melakukannya adalah sama seperti hukum yang berlaku pada orang yang meninggalkan shalat. Mengenai hal ini penulis berpendapat, bahwa ia berkewajiban mengulangi shalatnya.

Apabila ada sedikit dari bagian rambut dan badannya yang terbuka, maka ia tidak harus mengulangi shalatnya. Demikian menurut pendapat sebagian besar ulama seperti Abu Hanifah dan Ahmad. Sedang apabila sebagian besar dari auratnya terbuka, maka ia harus mengulangi shalatnya. Ini menurut pendapat ulama secara umum, termasuk empat imam dan lainnya. Apabila seorang muslimah mengerjakan shalat, sedang punggung kakinya terbuka, maka menurut Abu Hanifah shalatnya tetap sah.

Mengenai persoalan kiblat, Perhatikanlah sabda Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam berikut ini:

"Di antara Timur dan Barat itu terdapat kiblat." (HR. Tirmidzi)

Imam Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini berstatus hasan shahih.

Secara zhahir, hadits ini berarti, bahwa di antara Timur dan Barat secara keseluruhan itu terbentang arah kiblat. Karena, seandainya yang diwajibkan itu benar-benar menghadapkan wajah tepat pada titik kiblat, maka tidak akan sah shalat orang-orang yang berada di barisan memanjang dan lurus serta tidak sah pula shalat dua orang yang saling berjauhan dengan menghadap ke satu kiblat.

Dengan demikian, tidak diperbolehkan menghadap ke Ka'bah dalam satu barisan memanjang, kecuali tetap pada posisi arah Ka'bah berada.


9. Orang Yang Meninggalkan Shalat dan Harus Dibunuh

Menurut Imam syafi'i dan Ahmad, orang yang meninggalkan shalat diharuskan bertaubat. Apabila ia tidak bertaubat, maka harus dibunuh. Dalam komentarnya, Abu Bakar Ath-Tharthusyi menyebutkan: "Menurut Imam Malik, bahwa kepada orang yang meninggalkan shalat itu harus diingatkan dengan keras, selama waktunya masih ada. Apabila ia mengerjakannya, maka akan diampuni dan jika menolak sehingga waktunya berlalu, maka ia harus dibunuh."

Dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa muslim/h yang meninggalkan shalat tidak harus dibunuh, walaupun telah berulangkali diseru untuk mengerjakannya dan ia tetap menolak. Sebagaimana Nabi mengizinkan shalat sunnat di belakang para pemimpin yang senantiasa mengakhirkan waktu shalatnya dan beliau tidak memerintahkan maupun mengizinkan untuk membunuh mereka.

Pendapat yang memperbolehkan untuk membunuh orang yang meninggalkan shalat ini masih dipertentangkan, apakah dengan meninggalkan satu, dua atau tiga kali shalat? Dalam sebuah riwayat, Sufyan Ats-Tsauri, Imam Malik dan Ahmad mengatakan: "Dengan meninggalkan satu kali shalat, seorang muslim/h dapat dikenai sanksi dibunuh." Demikian pula menurut madzhab Syafi'i. Yang menjadi hujjah dari pendapat tersebut adalah hadits yang diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal, bahwa Rasulullah pernah bersabda:

من ترك صلاة مكتوبةً مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرقتْ مِنْهُ ذِمَّة الله. ورواه الإمام أحمد

"Barangsiapa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, maka ia telah terlepas dari tanggung jawab Allah." (HR. Ahmad)

Dan dari Abu Darda', dimana ia bercerita:

أَوْصَانِي أبو الْقَاسِم أَنْ لاَ أَتْرُكَ الصَّلاَةَ مُتَعَمِّدًا، فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِقَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللهِ. ورواه أبو عبد الرحمن بن أبي حاتم 

"Rasulullah telah berpesan kepadaku untuk tidak meninggalkan shalat secara sengaja. Barangsiapa meninggalkannya dengan sengaja, maka ia telah terlepas dari tanggung jawab Allah." (HR. Abdurrahman bin Abi Hatim)

Apabila seorang muslim/h diperintah mengerjakan shalat, lalu dengan mudah ia mengatakan: "Aku tidak mau mengerjakan shalat", sedang ia tidak memiliki alasan pasti, maka berarti ia telah dengan sengaja meninggalkan shalat dan dapat dipastikan hukum wajib bunuh atasnya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata; bahwa Rasulullah pernah bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لا إلهَ إِلا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، ثُمَّ قَدْ حُرِّمَتْ عَلَيَّ دِمَاؤُهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ. رواه الإمام أحمد وابن خزيمة

"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia kecuali apabila mereka bersaksi, bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah Rasul-Nya, kemudian mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Diharamkan bagiku darah, dan harta mereka, serta perhitungan mereka di tangan Allah Azza wa Jalla." (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)

Begitu pula hadits dari Ibnu Mas'ud, dimana Rasulullah telah bersabda:

لَا يَحِلُّ دَمَ امْرِىءٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثَ الشَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالنَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ. متفق عليه

"Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi, bahwa tiada llah yang berhak disembah selain Allah, kecuali karena adanya salah satu dari tiga sebab, yaitu: Wanita yang telah menikah berzina, membunuh jiwa yang harus dibayar dengan jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya atau yang memisahkan diri dari jama'ah." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Juga dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, ia menceritakan:

لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللَّهِ اللهُ ارْتَدَّ الْعَرَبُ، فَقَالَ عُمَرُ: يَا أَبَا بَكْرٍ، كَيْفَ تُقَاتِلُ الْعَرَبَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّمَا قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ. رواه النسائي

"Ketika Rasulullah meninggal dunia, bangsa Arab banyak yang murtad. Lalu Umar bertanya: Wahai Abu Bakar, bagaimana engkau hendak memerangi bangsa Arab? Abu Bakar menjawab: Sebenarnya Rasulullah pernah bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi, bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku (Muhammad) adalah Rasul Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat." (HR. An-Nasa'i)

Beberapa hadits di atas merupakan hujjah diperbolehkannya membunuh orang yang meninggalkan shalat.

Abu Ishak mengatakan: "Muslim/h yang meninggalkan shalat dibunuh karena kekufurannya, seperti halnya muslim/h yang murtad, hingga tidak perlu dimandikan, dikafani maupun dishalatkan jenazahnya serta tidak dikubur di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang artinya: "Terputusnya hubungan antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah perbuatan meninggalkan shalat." (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda:

أَوَّلُ مَا تَفْقِدُونَ مِنْ دِينِكُمْ الْحُشُوعُ وَآخِرُ مَا تَفْقِدُونَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ . رواه الحاكم

"Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah kekhusyu'an dan yang terakhir kali hilang adalah orang yang meninggalkan shalat." (HR. Hakim)

Berkenaan dengan hal ini penulis berpendapat, bahwa seorang muslim/h yang meninggalkan shalat tidak disebut sebagai kafir apabila ia dibunuh dan kedudukannya sama seperti wanita bersuami yang berzina. Ini juga merupakan pendapat dari sebagian besar fuqaha yang di antaranya adalah Abu Hanifah.

Imam Malik dan Imam Syafi'i, sesuai dengan sabda Rasulullah:

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النار مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إلا الله يَبْتَغِي بِذلِكَ وَجْهَ اللَّهِ. متفق علیه 

"Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan "Laa Ilaaha Illallahu" yang dengannya ia bertujuan mencari keridhaan-Nya." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Juga dari Ubadah bin Shamit, ia bercerita; aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ شَهِدَ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللهِ وَكَلِمَتُهُ الْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْح مِنْهُ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ أَدْحَلَهُ الله الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ عَمَلٍ. متفق عليه

"Barangsiapa bersaksi, bahwasanya tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba sekaligus Rasul-Nya, dan Isa adalah hamba Allah (yang diciptakan dengan kalimat-Nya²) yang disampaikan-Nya kepada Maryam dengan tiupan ruh dari-Nya. Juga meyakini bahwasanya surga dan neraka itu haq keberadaannya, maka Allah akan memasukkannya ke surga berapapun amal yang diperbuatnya." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Dari Anas bin Malik, ia mengatakan; bahwa Rasulullah pernah bersabda:

يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ بُرَّةَ. متفق عليه

"Orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallahu, sedang di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji gandum, maka ia akan keluar dari neraka." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Apabila seorang muslim/h yang meninggalkan shalat itu kafir, maka ia tidak akan pernah dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk dimasukkan ke surga. Diriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata:

"Akan datang kepada manusia suatu zaman dimana Islam tidak lagi bersama mereka, kecuali hanya ucapan Laa Ilaaha Illallahu." (HR. Al-Khalal)

Karena hal tersebut sudah menjadi ijma' kaum muslimin, maka tidak kita dapati seorang pun dari mereka apabila meninggalkan shalat tidak dimandikan atau tidak dishalatkan ketika meninggal serta tidak ada juga larangan bagi ahliwarisnya untuk menerima apa yang ditinggalkannya.

Seandainya seorang muslim/h yang meninggalkan shalat itu dikafirkan, niscaya hukum-hukum yang berkenaan dengannya tentu sudah ditetapkan. Kita tidak melihat adanya perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, bahwa seorang muslim/h yang meninggalkan shalat harus mengqadha' shalat yang ditinggalkannya. Akan tetapi, mereka masih berbeda pendapat mengenai kemurtadannya. 

Sedangkan hadits-hadits yang mengkafirkannya memiliki makna hanya penyerupaan dengan orang-orang kafir dan bukan kafir dalam arti yang sesungguhnya. Sebagaimana sabda Rasulullah berikut ini:

سبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ. متفق عليه الله

"Mencela orang muslim itu sebagai suatu kefasikan, sedang membunuh-nya adalah sebagai kekufuran." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Demikian juga pada sabda beliau berikut ini:

مَنْ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا . ورواه مالك وأحمد 

"Barangsiapa mengatakan kepada saudaranya 'Hai kafir!', maka sebutan itu akan kembali kepada salah seorang dari keduanya." (HR. Malik dan Ahmad)

Sabda beliau yang lain:

"Barangsiapa bersumpah dengan selain nama Allah, berarti ia telah berbuat syirik." (HR. Ahmad dan dinyatakan shahih)

Juga sabdanya:

"Kufur kepada Allah berarti melepaskan diri dari nasab, meskipun hanya sedikit." (Fathul Baari)

Di samping itu masih banyak hadits-hadits lainnya, yang dimaksudkan untuk mempertegas ancaman.

10. Sujud Sahwi

Disyari'atkan untuk melakukan sujud sahwi apabila merasa ragu dalam pelaksanaan shalat. Mengenai hal ini, Rasulullah pernah bersabda:

إِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ فَزَادَ أَوْ نَقَصَ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْن.

"Apabila salah seorang dari kalian lupa, sehingga terjadi kelebihan atau kekurangan dalam bilangan shalat, maka hendaklah ia bersujud dua kali."

Karena shalat itu memiliki gerakan ruku' dan sujud, maka disyari'atkan bersujud apabila lupa atau ragu dalam bilangan shalat. Mengenai sujud sahwi ini tidak terdapat perbedaan pendapat baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnat. Apabila seseorang melakukan kelebihan dalam berdiri, duduk, ruku' atau sujud disebabkan lupa, maka ia harus bersujud sahwi karenanya, Demikian juga apabila melakukan kelebihan dalam raka'at, juga apabila seseorang merasa ragu, apakah raka'at yang dilakukannya sudah mencapai empat atau tiga, maka ia harus meyakini yang tiga. Kemudian melakukan raka'at yang keempat dan selanjutnya melakukan sujud sahwi.

Apabila pada raka'at kedua seorang muslim/h ingat, bahwa ia belum membaca Al-Fatihah pada raka'at yang pertama, maka ia boleh meneruskan shalatnya sebelum salam ia harus melakukan sujud sahwi. Begitu pula apabila di akhir shalatnya ia baru mengingat, bahwa ia belum melakukan tasyahud awal, maka ia juga berkewajiban melakukan sujud sahwi. Juga apabila lupa membaca surat Al-Qur'an atau ucapan "Sami'allahu liman hamidah, rabbana wa laka al-hamdu atau sujud, maka ia harus melakukan sujud sahwi, baru kemudian mengucapkan salam. Insya Allah shalat yang demikian itu sah. Sujud sahwi itu tidak dilakukan kecuali setelah tasyahud akhir dan sebelum salam.

11. Adzan

Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan lafazh-lafazh tertentu.

a. Yang harus diucapkan muslim/h ketika mendengar adzan

Bagi muslim/h yang mendengar adzan, maka hendaklah ia mengucapkan bacaan seperti apa yang dikumandangkan oleh muadzdzin, kecuali pada saat membaca "Hayya 'Alashshalat" dan "Hayya 'Alalfalah", dimana pada keduanya hendaklah ia mengucapkan: "Laa Haula wa Laa Quwwata illa Billah".

b. Yang harus diucapkan muslim/h setelah selesai adzan

1. Bershalawat kepada Rasulullah serta mendo'akannya dengan wasilah. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

إذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذَنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلِّي عَلَيَّ مَرَّةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوا اللَّهُ لِيَ الْوَسِيلَةَ، فَإِنَّهَا منزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ يَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ إِلا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ، وَأَرْجُوْ أَنْ أَكُونَ أنا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ اللَّهُ لِيَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي. ورواه مسلم

"Apabila kalian mendengar seruan muadzdzin, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muadzdzin, kemudian bershalawatlah bagiku. Sesungguhnya orang yang bershalawat sekali bagiku, maka Allah akan bershalawat sepuluh kali baginya. Kemudian mohonkanlah wasilah (derajat yang tinggi) bagiku. Karena, hal itu merupakan kedudukan tinggi di surga yang tidak diberikan melainkan kepada salah seorang dari para hamba-Nya dan aku berharap hamba itu adalah aku. Barangsiapa memohonkan wasilah bagiku, maka dihalalkan baginya syafa'atku." (HR.Muslim)

2. Membaca Do'a Setelah Adzan

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, ia berkata; bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

لا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الأذان والإقامة. (رواه الترمذي)

"Tidak akan ditolak do'a yang dibaca di antara adzan dan iqamat." (HR. Tirmidzi dan beliau menghasankannya).

c. Do'a yang di ucapkan muslim/h ketika adzan Maghrib

Mengenai adzan Maghrib ini, telah dikisahkan dari Ummu Salamah, dimana ia berdo'a dengan membaca:

اللهُمَّ إِنَّ هَذَا إِقْبَالُ لَيْلِكَ، وَإِدْبَارُ نَهَارِكَ، وَأَصْوَاتُ دُعَاتِكَ فَاغْفِرْ لِي.

"Ya Allah, kini malam-Mu telah tiba dan siang-Mu telah berlalu serta suara-suara penyeru-Mu telah diperdengarkan, maka ampunilah aku.

d. Berdzikir ketika iqamat

Ketika muadzdzin mengumandangkan iqamat, maka hendaklah muslim/h mengucapkan:

أَقَامَهَا اللَّهُ وَأَدَامَهَا .

"Semoga Allah mendirikan dan melanggengkannya.

e. Adzan dan iqamat wanita

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, ia berkata; bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

لَيْسَ عَلَى النِّسَاءِ أَذَانٌ وَلَا إِقَامَةٌ. رواه البيهقي

"Tidak ada adzan dan juga iqamat bagi kaum wanita." (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)

Hal senada juga dikemukakan oleh para penganut madzhab Hanbali dan Maliki, dimana mereka berpendapat; bahwa tidak ada adzan dan juga iqamat bagi kaum wanita. Adapun menurut Imam Syafi'i: "Apabila dikumandangkan adzan dan iqamat dalam shalat mereka, maka hal itu tidak ada larangan." Begitu pula menurut Imam Ahmad. Akan tetapi, masih menurut beliau (Imam Ahmad), boleh juga bagi mereka untuk tidak mengumandangkannya.

Setelah adzan dan iqamat dikumandangkan, wanita yang menjadi imam bagi jama'ah wanita tidak berdiri seperti halnya imam laki-laki, melainkan berdiri ditengah-tengah barisan shaf pertama.



Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)