Darah Haid

Wahyu Ayatullah
0

 

haid kitapintar

Darah Haid

1. Definisi Darah Haid

Haid adalah darah yang keluar dari rahim dinding seorang wanita apabila telah menginjak masa baligh. Haid ini dijalani oleh seorang wanita pada masa-masa tertentu, paling cepat satu hari satu malam dan paling lama lima belas hari. Sedangkan yang normal adalah enam atau tujuh hari.

Sedangkan paling cepat masa sucinya adalah tiga belas atau lima belas hari dan paling lama tidak ada batasnya. Akan tetapi, yang normal adalah dua puluh tiga atau dua puluh emat hari.

Apabila seorang wanita hamil, dengan izin Allah darah haid itu berubah menjadi makanan bagi bayi yang tengah berada di dalam kandungannya. Oleh sebab itu, wanita yang sedang hamil tidak mengalami masa haid. Setelah melahirkan, dengan hikmah-Nya, Allah Azza wa Jalla merubahnya menjadi air susu yang merupakan makanan bagi bayi yang dilahirkan. Karena itu, sedikit sekali dari kaum wanita menyusui yang mengalami masa haid. Setelah selesai masa melahirkan dan menyusui, maka darah yang ada tidak berubah serta tetap berada pada tempatnya, yang kemudian secara normal kembali keluar pada setiap bulannya, yaitu berkisar antara enam atau tujuh hari (terkadang lebih atau kurang dari hari-hari tersebut). 

Dalam menjalani masa haid ini, wanita dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: Wanita yang baru menjalani masa haid, wanita yang telah terbiasa menjalaninya dan wanita yang mengalami keluarnya darah istihadhah.


2. Wanita Yang Baru Menjalani Masa Haid

Yaitu wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan ibadah, hingga datang masa suci. Apabila masa haid itu telah selesai dalam satu hari atau paling lama lima belas hari, maka ia berkewajiban untuk mandi dan mengerjakan shalat. Apabila setelah lima belas hari darah tersebut masi tetap mengalir keluar, maka ia dianggap mengalami masa Istihadhah. Pada saat itu, hukum yang berlaku baginya adalah hukum wanita yang mengalami istihadhah.

Apabila darah haid itu berhenti di sekitar lima belas hari, lalu ia mengalir lagi selama satu atau dua hari, kemudian berhenti lagi seperti semula, maka cukup baginya mandi, lalu mengerjakan shalat. Selanjutnya, hendaklah ia meninggalkan shalat pada setiap kali mengetahui darah haid itu mengalir.

Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang mengerjakan shalat, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulallah:

"Apabila datang haidmu, maka tinggalkanlah shalat." HR. Muttafaqun 'Alaih


3. Wanita Yang Biasa Menjalani Masa Haid

Yaitu, wanita yang mempunyai hari-hari tertentu pada setiap bulannya untuk menjalani masa haidnya. Pada hari-hari tersebut, ia harus meninggalkan untuk shalat, puasa dan hubungan badan. Apabila ia melihat darah tersebut, maka ia tidak perlu menghitungnya sebagai darah atau haid. Hal ini sesuai dengan ucapan Ummu 'Athiyah Radhiyallahu Anhu:

"Kami tidak memperhitungkan sama sekali darah yang berwarna kekuning-kuningan atau yang berwarna keruh setelah lewat masa bersuci." HR. Bukhari

Apabila ia melihat darah yang berwarna kekuning-kuningan dan berwarna keruh itu pada saat tengah menjalani masa haid, maka darah tersebut termasuk darah haid, sehingga ia belum diharuskan untuk mandi, melaksanakan shalat dan puasa.

Sebagian dari para ulama berpendapat bahwa wanita yang menjalani haid melebihi dari hari yang biasa dijalani setiap bulannya, maka hendaklah ia bersuci sepama tiga hari dan setelah itu laksanakan mandi serta kerjakan shalat, selama keluarnya darah tersebut tidak lebih dari lima belas hari. Karena, apabila melebihi lima belas hari, maka dikategorikan sebagai wanita yang mengalami masa isthihadhah serta tidak perlu bersuci, akan tetapi cukup dengan melaksanakan mandi dan mengerjakan shalat.

Sebagian dari ulama yang lain berpendaat, bahwa keluarnya darah yang melebihi kebiasaan masa haid itu tidak harus meninggalkan shalat karenanya, kecuali jika terjadinya berulang-ulang, dua atau tiga kali. Sehingga pada saat itu, masa haidnya berubah menjadi masa istihadhah. Ini merupakan pendapat yang jelas dan lebih kuat (rajih).


4. Amalan yang Dilarang untuk Dikerjakan Bagi Wanita Yang Menjalani Masa Haid

a. Shalat

Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang untuk mengerjakan shalat.

"Apabila datang masa haidmu, maka tinggalkanlah shalat." HR. Mutafaqun 'Alaih

b. Puasa 

Pada masa haid tidak diperkenankan untuk menjalankan ibadah puasa.

"Bukankah salah seorang di antara mereka (kaum wanita) apabila menjalani masa haid tidak mengerjakan shalat dan tidak pula berpuasa ? Para sahabat wanita menjawab: Benar. HR. Bukhari

Namun demikian, wanita yang menjalani masa haid berkewajiban mengqadha' puasa yang ditinggalkan setelah masa haidnya selesai. Ibnu Mundzir pernah meriwayatkan bahwa wanita yang tengah menjalani masa haid berkewajiban mengqadha' puasa."


c. Membaca Al-Qur'an 

Bagi wanita yang menjalani masa haod diperbolehkan membaca Al-Qur'an, akan tetapi tidak boleh menyentuh mushhafnya. Di samping itu ada pula hadits yang di riwayatkan Imam Tarmidzi dari Ibnu Umar, yang bersetatus sebagai hadits marfu':

"Wanita yang tengah menjalani masa haid dan juga yang sedang dalam keadaan junub tidak boleh sama sekali membaca Al-Qur'an." HR. Tirmidzi


d. Menyentuh Al-Qur'an

Diharamkan bagi wanita yang sedang haid menyentuh Al-Qur'an. hal ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 

"Tidak menyentuhnya (Al-Qur'an), kecuali hamba-hamba yang disucikan." Al-Waqi'ah


e. Berdiam Diri Dalam Masjid

Sebagai mana telah di uraikan dalam pembahaskan masalah mandi, bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh berdiam diri di dalam masjid, dan diperbolehkan jika hanya sekedar belalu saja.


f. Thawaf

Wanita muslimah juga diharamkan melakukan thawaf jika sedang menjalani masa haid, sebagaimana sabda Nabi kepada Aisyah :

"Kerjakanlah sebagaimana orang yang menjalankan ibadah haji, kecuali kamu tidak boleh melakukan thawaf di Ka'bah, sehingga kamu benar-benar dalam keadaan suci." HR. Muttafaqun 'Alaih)


g. Berhubungan Badan 

Seorang istri muslimah yang sedang haid tidak di perkenankan bersetubuh selama hari-hari menjalani masa haidnya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla: 

"Karena itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari mereka pada waktu haid dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka benar-benar suci." (Al-Baqarah: 222)


h. Thalak

Menthalak istri yang sedang haid adalah haram. Karena, pelaksanaan thalak semacam ini disebut sebagai thalak bid'ah.


5. 'Iddah Dengan Perhitungan Bulan

Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:

"Hendaklah istri-istri yang dithalak dapat menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru'." (Al-Baqarah: 228) 

Syarat 'Iddah dengan perhitungan bulan adalah tidak haid, karena haid dapat membatalkan kesucian. Sebagaimana kita ketahui, bahwa keluarnya darah itu menyebabkan seorang wanita menjadi berhadats dan jelas akan mengakibatkan batalnya kesucian, sebagaimana halnya dengan kencing.

Hukum nifas sama seperti haid, baik itu yang menyangkut hal-hal yang wajib, haram maupun yang digugurkan. Dalam masalah ini, kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat. hanya saja terjadi perbedaan pendapat di dalam masalah kewajiban membayar kafarat atas perbuatan menyetubuhi istri yang sedang menjalani masa nifas, seperti halnya istri yang sedang haid. Selain itu, juga diperbolehkan bercumbu selain pada bagian kemaluan. karena, nifas itu adalah darah haid yang tertahan karena proses kehamilan, lalu keluar sebagai darah nifas dan di tetapkan hukumnya sama seperti darah haid, kecuali dalam masalah perhitungan 'iddahnya. Sebab, 'iddah itu berdasarkan quru', sedangkan nifas tidak. Selain itu, juga karena 'iddah berakhir dengan adanya kehamilan. Hal lain yang membedakannya dari haid adalah bahwa nifas tidak menunjukan seseorang telah mencaai usia baligh, sedangkan haid dapat di jadikan bagi balighnya seseorang. Karena, nifas itu tidak mungkin terjadi sebelum adanya proses kehamilan.


6. Apabila Darah Haid Berhenti

Diperbolehkan bagi wanita muslimah mengerjakan Shalat dan puasa. Akan tetapi, tidak dipernolehkan terhadap selain keduanya kecuali setelah mandi.

Secara umum dapat dikatakan, bahwa jika darah haid seorang muslimah telah berhenti dan belum melaksanakan mandi, maka tidak berlaku baginya empat hukum yang berkenaan dengan haid, yaitu:

1. Terhapusnya kewajiban shalat, karena pada saat itu masa haid masih berlangsung.

2. Adanya halangan yang di sebabkan oleh tidak sahnya thaharah, karena haid.

3. Larangan mengerjakan puasa. Karena kewajiban mandi setelah selesai masa haid tidak lagi melarang seorang wanita untuk mengerjakan puasa. 

4. Diperbolehkan thalak. Karena, pengharamannya dimaksudkan untuk memperpanjang masa 'iddah atau karena haid. Disamping itu, seluruh apa yang di haramkan masih tetap berlaku. Karena, kesemuanya itu juga diharamkan bagi orang yang tengah berada dalam kondisi junub, dimana inilah yang terbaik.


7. Diperbolehkan Bercumbu Dengan Istri Yang Sedang Haid

Diperbolehkan bercumbu dengan istri yang sedang haid, akan tetapi tidak boleh bersetubuh dengannya.

Bercumbu dengan istri yang sedang haid pada bagian-bagian di atas pusar dan dibawah lutut tetap diperbolehkan. Sedangkan bersenggama dengan mereka sama sekali diharamkan.

Imam Ahmad memperbolehkan bercumbu pada bagian di atas pusar dan di bawah lutut. Sementara Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah mengatakan: "Hal itu tidak di perbolehkan, karena Aisyah pernah menceritakan, bahwa Rasulallah pernah menyuruhku memakai kain sarung dan aku pun memakainya. Lalau beliau mencumbuiku, sedang aku dalam keadaan haid." (HR. Bukhari). Juga dari Abdullah bin Sa'ad Al-Anshari, dimana ia pernah bertanya kepada Rasulallah, tentang bagaimana yang boleh di lakukan terhadap istri yang sedang dalam keadaan haid? Beliau menjawab: "Apa yang berada di atas kain" (HR. Baihaqi).


8. Kafarat Bagi Istri Yang Haid Yang Disetubuhi Suaminya

Apabila istri yang disetubuhi itu tidak senang atau tidak mengetahuinya, maka tidak ada kafarat (denda) baginya, sebagaimana sabdah Rasulallah: 

"Diberikan maaf bagi umatku atas kesalahan dan kelupaan serta apa-apa yang dipaksakan kepada mereka." 

Akan tetapi, apabila ia merasa senang atasnya, maka ia harus membayar setengah dinar emas murni dalam bentuk apapun dan menyerahkannnya kepada orang-orang miskin, seperti halnya pada ketentuan kafarat-kafarat yang lain.

Hukum kafarat dalam masalah haid sama seperti hukum kafarat pada nifas.


9. Wanita Hamil Tidak Mengalami masa Haid

Apabila wanita muslimah yang sedang hamil mengeluarkan darah, maka berarti itu merupakan darah kotor dan bukan darah haid. Demikian dikatakan oleh Sa'id bin Al-Musayyib dan Al-Auza'i yang diriwayatkan dari Aisyah. Yang benar, menurut sumber dari 'Aisyah, apabila seorang wanita hamil memgeluarkan darah, maka tidak diwajibkan atasnya mengerjakan shalat. Yaitu apabila ia mengeluarkan darah pada satu atau dua hari sebelum melahirkan. Karena, yang demikian itu termasuk darah nifas, sehingga ia harus meninggalkan kewajiban shalat.

Sementara Imam Malik dan Imam Syafi'i berpendapat: "Darah yang dikeluarkan itu adalah darah haid." Pendapat ini juga diriwayatkan dari Az-Zuhri, Qatadah dan Ishaq. Karena, itu merupakan darah yang datang secara tiba-tiba, sehingga menjadi darah haid seperti halnya wanita-wanita yang tidak hamil.

Hukim nifas sama seperti hukum pada haid, baik mengenai amalan yang diharamkan maupun yang digugurkan. Dalam masalah ini tidak ada perdebatan pendapat. Yang menjadi perbedaan adalah mengenai kewajiban membayar kafarat atas persetubuhan yang dilakukan terhadap istri yang tengah menjalani masa nifas, sebagaimana halnya dengan wanita yang sedang haid.

Walau demikian, diperbolehkan mencumbuai istri hamil yang mengeluarkan darah seperti ini pada bagian-bagian selain kemaluan. Karena, darah yang keluar tersebut adalah darah haid yang terhenti karena proses kehamilan, kemudian darah itu keluar, sehingga hukumnya ditetapkan demikian. Kecuali dalam masa 'iddah. karena 'iddah itu dihitung dengan quru' sedangkan nifas tidak. Selain itu, karena masa 'iddah menjadi selesai setelah proses kehamilan berakhir.


10. Istri Yang Disetubuhi Suaminya Ketika Istihadhah

Bagi wanita yang mengalami istihadhah, ia diharuskan mandi sama seperti mandinya wanita yang selesai dari menjalani masa haidnya dan kemudian berwudhu' pada setiap kali akan mengerjakan shalat. Demikian menurut pendapat Imam Malik dan Asy-Syafi'i yang didasarkan riwayat Aisyah Radhiyallahu Anha, dimana ia bercerita:

"Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasulallah seraya bertanya: Wahai Rasulallah, aku sedang mengalami istihadhah  dan tidak pernah suci, apakah aku harus meninggalkan shalatku? Nabi menjawab: Sesungguhnya yang keluar itu adalah darah yang mengalir dari pembuluh darah dan bukan darah haid. sedang apabila datang waktu haidmu, maka tinggalkan shalat dan apabila masa haidmu telah selesai, maka mandi dan dirikanlah shalat." (HR. Muttafaqun 'Alaih)


11. Apabila Seorang Wanita Lupa Atas Hari Haidnya

Apabila seorang wanita muslimah tidak ingat jumlah hari haidnya, maka ia boleh mandi setelah enam atau tujuh hari dan selanjutnya boleh mengerjakan shalat serta puasa. Imam Asyafi'i mengatakan: "Dalam hal ini, secara yakin dapat dikatakan, bahwa istri atau wanita tersebut tidak sedang haid. Sementara terhadap hari-hari yang diragukannya itu ia harus mandi pada setiap akan mengerjakan shalat dan boleh berpuasa. Akan tetapi, tidak boleh disetubuhi oleh suaminya." Adapun pendapat yang pertama adalah lebih benar, karena sesuai dengan sabda Rasulallah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

"Sesungguhnya darah itu keluar akibat dari hentakan syaitan. Jalanilah haid itu selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Jika kamu telah mendapati dirimu berada dalam keadaan bersih, maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari (siang malam), dan berpuasalah, begitulah yang boleh kamu lakukan. Dismping itu, lakukanlah sebagaimana apa yang dilakukan oleh wanita-wanita yang menjalani masa haid pada setiap bulannya. Juga sebagaimana mereka bersuci pada hari penghabisan dari masa haidnya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini bersetatus hasan shahih)

Apabila seorang wanita mengeluarkan darah tidak pada masa haidnya yang biasa terjadi dan ia mendapati jumlahnya lebih banyak, maka hendaklah ia mandi janabat setelah darah itu berhenti. Karena, ada kemungkinan keluarnya darah itu adalah sebagai masa haidnya.


12. Wanita Yang Baru Menjalani Masa Haid

Wanita muslimah yang baru pertama kali menjalani masa haid akan lebih berhati-hati, dimana mereka sebaiknya menahan diri selama satu hari satu malam, lalu mandi dan berwudhu' pada setiap kali hendak mengerjakan shalat. Apabila darah haidnya itu berhenti pada hari kelima belas, maka hendaklah ia mandi pada hari berhenti mengalirnya darah tersebut. Demikianlah yang seharusnya dilakukan pada masa haid kedua dan ketiga kalinya.

Jumlah hari dari masa haid yang dapat dijadikan sebagai kebiasaan untuk ditetapkan adalah sekali. Yaitu, apabila seorang wanita biasa manjalani masa haidnya itu tiga hari pada setiap bulannya. Lalu ia mendapati masa haidnya berlangsung selama lima hari pada bulan yang lain. Maka ketetapan dari masa haidnya yang berlaku adalah tiga hari, seperti pada bulan yang pertama. Akan tetapi, apabila keluarnya darah haid itu sampai pada bulan yang ketiga adalah selama lima hari, maka yang menjadi ketentuan dari masa haidnya adalah lima hari. Sedang apabila kebiasaan dari masa haidnya itu lima hari, kemudian di tengah-tengah dari kelima hari tersebut ia mendapati satu hari keluar dan satu hari yang lain berhenti, maka kesemuanya itu tetap terhitung sebagai masa haid, sehingga selesai pada yang hari kelima. Adapun darah yang keluar setelah hari kelima adalah istihadhah.

Sebagaimna telah diuraikan sebelumnya, bahwa seorang istri yang mengalami masa istihadhah secara mutlak boleh disetubuhi oleh suaminya, tanpa adanya syarat apapun. Ini merupakan pendapat mayoritas dari fuqaha'. Seperti diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ikrimah, dari Hamnah binti Jashyin, dimana ia pernah mengalami istihadhah, sedang suaminya bersetubuh dengannya. Demikian juga halnya dengan Ummu Habibah, dimana ia juga pernah mengalami istihadhah dan suaminya pun menggaulinya. Hamnah adalah istri dari Thalhah, sedangkan Ummu Habibah adalah istri dari Abdurrahman bin 'Auf. Kedua wanita ini pernah bertanya kepada Rasulallah mengenai hukum wanita yang mengalami istihadhah. Seandainya pada saat itu (melakukan hubungan badan) diharamkan, maka pasti beliau akan menjelaskan kepada keduanya.

Wanita yang mengalami istihadhah juga diharuskan berpuasa dan mengerjakan shalat selama istihadhah itu berlangsung. Hal ini sebagaimana disebutkan didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi binTsabit, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: 

"Ia meninggalkan shalat selama hari haidnya, kemudian mandi, berpuasa dan mengerjakan shalat serta berwudhu' pada setiap hendak menunaikan shalatnya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Sedangkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia menceritakan:

"Fatimah binti Abi Jashin ia pernah datang kepada Nabi. Seraya menceritakan apa yang tengah dialaminya. Maka beliau bersabda: Mandilah, kemudian berwudhu' pada setiap hendak menunaikan shalat." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Karena darah itu keluar melalui kemaluan sehingga membatalkan wudhu' , maka hukumnya sama dengan madzi. Akan tetapi yang lebib baik adalah berwudhu' ketika datang waktu shalat. Karena ada kemungkinan darah tersebut dapat keluar sewaktu-waktu, sehingga dapat membatalkan wudhu'. Sebab, hadats yang keluar melalui kemaluan dapat membatalkan wudhu'.


13. Menjama' Antara Dua Shalat

Bagi wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan menjama' antara dua shalat dengan satu kali wudhu'. Karena, Nabi pernah memerintahkan kepada Hamnah binti Jahsy untuk menjama' antara dua shalat sengan satu kali bersuci. Hal ini di qiyaskan bagi para wanita yang mengalami iastihadhah.


14. Usia Minimal Keluarnya Darah Haid

Usia terendah bagi seorang wanita untuk menjalani masa haid adalah sembilan tahun. Oleh karena itu, apabila ada seorang wanita yang mengeluarkan darah melalui kemaluannya sebelum usia tersebut, maka itu bukanlah darah haid. Artinya tidak berlaku pula baginya hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah haid. Karena, tidak ada ketetapan hukum yang mengatur bahwa seorang wanita mampu (dapat) menjalani masa haid sebelum usia tersebut. Telah diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dimana ia berkata: 

"Apabila seorang anak wanita mencapai usia sembilan tahun, maka ia sudaj termasuk perempuan (memasuki usia baligh)." (HR. Tirmidzi)


15. Usia Maksimal Keluarnya Darah Haid

Usia maksimal seorang wanita dalam menjalani masa haidnya adalah lima puluh tahun. Oleh karena itu, apabila melihat keluarnya darah melalui kemaluannya setelah usia lima puluh tahun, maka dalam hal ini ada dua penjelasan: 

Pertama, hal itu dianggap sebagai proses sirkulasi darah yang mengalami kerusakan. karena, Aisyah pernah menceritakan: "Apabila seorang wanita telah mencapai usia lima puluh tahun, maka ia sudah tidak mengalami masa haid lagi".

Kedua, apabila darah tersebut mengalir secara berulang-ulang, maka ia termasuk darah haid. Inilah pendapat yang lebih benar. Sebab, hal itu tidak jarang ditemukan dikalangan kaum wanita. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Hindun binti 'Ubaidah bin Abdillah bin Zam'ah melahirkan Musa bin Abdillah bin Hasan bin Hasan bin Ali Radhiyallahu Anhu pada usia enam puluh tahun.

Sementara Ibnu Bakar mengatakan: "Bahwa wanita yang telah berusia lima puluh tahun tidak akan melahirkan, kecuali pada wanita-wanita bangsa Arab dan wanita yang telah berusia enam puluh tahun tidak akan melahirkan, kecuali wanita Quraisy. Wanita non-Arab merasa putus asa pada usia lima puluh tahun, sedangkan wanita Arab masih melahirkan sampai pada usia enam puluh tahun. Karena, mereka jauh lebih kuat dari sisi fisik untuk dapat melahirkan.



Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)