Darah Nifas

Wahyu Ayatullah
0

 
nifas kitapintar

Darah Nifas

1.Definisi Darah Nifas

Nifas adalah darah yang keluar disebabkan oleh kelahiran anak. Hukum yang berlaku pada nifas adalah sama seperti hukum haid, baik mengenai hal-hal yang di perbolehkan, diharamkan, diwajibkan maupun dihapuskan. Takaran maksimal bagi keluarnya darah nifas ini adalah empat puluh hari, sebagai mana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, dimana ia berkata.

"Pada masa Rasulallah, para wanita yang sedang menjalani masa nifas menahan diri selama empat puluh hari atau empat puluh malam." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Para ulama dari kalangan sahabat Rasulallah dan para tabi'in telah menempuh kesepakatan, bahwa wanita-wanita yang sedang menjalani masa nifas harus meninggalkan shalat selama empat puluh hari. Apabila telah suci sebelum masa tersebut, maka hendaklah mandi dan mengerjakan shalat, demikian dikatakan oleh Imam Tirmidzi.


2. Keguguran

Apabila janin yang berada di dalam kandungan seorang ibu keluar sebelum waktunya (keguguran) dan sudah berbentuk manusia, maka darah yang keluar setelahnya merupakan darah nifas. Sedang apabila janin yang keluar itu belum berbentuk manusia secara sempurna, maka darah yang keluar setelahnya tidak di kategorikan sebagai darah nifas.  Akan tetapi, dianggap sebagai darah kotor yang tidak menghalangi wanita untuk mengerjakan shalat dan juga puasa.

Waktu minimal bagi sebuah janin itu terbentuk menjadi manusia sempurn adalah delapan puluh satu hari. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulallah Shallallahu Alaihi wa sallam pernah bersabda:

"Sesungguhnya sel sperma yang telah membuahi indung telur itu berkumpul didalam rahim ibu selama empat puluh hari. Kemudian ia menjadi segumpal darah, lalu segumpal daging, dan diutus kepadanya malaikat yang diperintahkan untuk ditetapan baginya empat hal, yaitu rizki, ajal dan amalnya dan apakah akan sengsara atau bahagia."

Para ulama mengatakan: "Janin tidak mungkin berbentuk sebelum jumlah hari tersebut. Yang pada umumnya terjadi adalah bahwa pemberian bentuk itu tidak akan terlihat sebelum sembilan puluh hari."

Hendaklah wanita muslimah mengetahui bahwa keguguran dalam proses kehamilan, apabila terjadi setelah terbentuknya tubuh seperti jari, kuku, rambut atau anggota tubuh lainnya, maka kandungan itu sudah menjadi anak dan darah yang keluar karenanya dianggap sebagai nifas. Sedangkan apabila kandungan itu mengalami keguguran sebelum terbentuknya anggota tubuh dan masih berupa segumpal darah atau segumpal daging, maka darah yang keluar karenanya tidak dianggap sebagai darah nifas.


4. Cara Mengetahui Kesucian

Seorang wanita muslimah dapat mengetahui kesuciannya dengan cara memasukkan kapas kedalam kemaluannya, lalu mengeluarkannya kembali. Hal ini dilakukan pada saat bangun dari tidur dan ketika hendak tidur. Yaitu untuk mengetahui, apakah dirinya dalam keadaan suci atau tidak. Atau untuk mendapatkan bukti, apakah masi ada yang keluar setelah ia bersuci.


5. Melahirkan dua Anak

Apabila wanita muslimah melahirkan dua anak (kembar), maka masa nifasnya dimulai dari kelahiran anak pertama dan bukan pada anak yang kedua. Sebagaimana Fathimah Az-Zahra Radhiyallahu Anha yang pernah melahirkan sebelum terbenamnya matahari (yaitu Hasan dan Husain), kemudian ia bersuci dari nifas dan mandi setelah mengerjakan shalat Isya', tepat ada waktunya. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa batas minimal dari masa nifas adalah waktu sekejap dan batas maksimalnya adalah empat puluh hari.


6. Amalan Yang Diharamkan Bagi Wanita Pada Masa Nifas

Amalan yang diharamkan bagi wanita pada masa haid diharamkan pula bagi wanita yang menjalani masa nifas, tanpa ada perbedaan diantara keduanya, kecuali hal-hal yang menyangkut thalak dan 'iddah.

7. Amalan Yang Mubah Dilakukan Wanita Haid dan Nifas

a. Bercumbu pada bagian-bagian selain kemaluan.

b. Berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'la.

c. Ihram, wuquf di Arafah

Semua amalan haji dan umrah keculi thawaf disekeliling Ka'bah. Tidak diperbolehkan bagi wanita yang sedang menjalani masa haid serta nifas, kecuali setelah bersuci dan mandi. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulallah kepada Aisyah Radhiyallahu Anha: 

"Kerjakanlah seperti orang yang menjalankan ibadah haji, kecuali melakukan thawaf di Ka'bah sehingga kamu bersuci." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

d. Makan dan minum bersama. 

Hal ini seperti disebutkan di dalam hadits riwayat dari Aisyah Radhiyallahu Anha:

"Aku pernah minum air dalam keadaan haid dan memberikan sisanya kepada Nabi. Kemudian beliau meletakan mulut beliau tepat pada bekas mulutku dan meminum air tersebut." (HR. Muslim)

Selain itu, tidak dimakhruhkan bagi wanita yang sedang menjalani masa haid atau nifas untuk memasak, mencuci atau yang lainnya. Berkenaan dengan hal ini, telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, dimana dia menceritakan: 

"Aku pernah bertanya kepada Rasulallah tentang makan bersama istri yang sedang haid dan beliau pun menjawab : Diperbolehkan makan bersama." (HR. Ahmad dan Tirmidzi) 

Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa orang-orang yahudi pada masa Rasulallah Shallallahu Alaihi wa Sallam apabila mendapati istri mereka sedang haid, maka mereka tidak mau mengajak makan bersama dan tidak pula menemaninya di rumah. Lalu salah seorang sahabat wanita bertanya kepada Rasulallah, memgenai hal tersebut dan beliau memjawab dengan sabda:

"Perbuatlah segala sesuatu, kecuali berhubungan badan." (HR. Muslim)


8. Amalan Yang Boleh Dilakukan Wanita Pada Masa Haid dan Nifas

a. Mencukur rambut dan memotong kuku.

b. Pergi ke pasar.

c. Pergi mendengarkan ceramah agama dan belajar memahami Islam, apabila hal tersebut tidak dilakukan di dalam masjid.

d. Berdzikir, bertasbih, bertahmid dan membaca basmalah sebelum makan minum.

e. Membaca hadits, fiqih, do'a dan mengucap amin.

f. Membaca berbagai macam dzikir sebelum tidur.

g. Mendengarkan bacaan Al-Qur'an.


9. Apabila Masa Nifas Lebih dari Empat Puluh Hari

Apabila seorang wanita menjalani masa nifas lebih dari empat puluh hari dan bertepatan dengan kebiasaan masa haid, maka darah itu dianggap sebagai darah haid. Akan tetapi, apabila tidak bertepatan dengan kebiasaan masa haidnya, maka darah itu termasuk istihadhah dan tidak menghalanginya untuk mengerjakan shalat dan maupun puasa. Berkenaan dengan ini, wanita tersebut tidak perlu mengganti shalat yang ditinggalkan, akan tetapi cukup hanya mengganti puasa yang ditinggalkannya (apabila terjadi pada bulan Ramadhan).


10. Apabila Melahirkan Tetapi Tidak Mengeluarkan Darah

Apabila seorang wanita melahirkan dan tidak melihat adanya darah yang keluar, maka ia tetap berada dalam keadaan suci atau tidak menjalani masa nifas. Karena, masa nifas adalah masa keluarnya darah setelah melahirkan, sedang pada saat itu ia tidak mengeluarkannya. Untuk itu ia berkewajiban mandi. Sebab proses melahirkan itu sendiri merupakan masa nifas, sehingga ia tetap berkewajiban seperti halnya kewajiban yang melekat pada pertemuan antara dua kemaluan (suami istri) meskipun tidak mengeluarkan mani.


11. Apabila Suci Sebelum Empat Puluh Hari

Apabila seorang wanita yang sedang menjalani masa nifas telah suci sebelum empat puluh hari, maka ia diperbolehkan untuk mandi, menjalankan puasa dan mengerjakan shalat. Akan tetapi disunnatkan untuk tidak berhubungan badan dengan suaminya sebelum empat puluh hari berlalu. Karena, dikhawatirkan nantinya akan keluar darah kembali, sehingga hubungan badan itu terjadi pada saat nifas.

12. Apabila Darah Keluar Kembali Sebelum Empat Puluh Hari

Apabila darah itu kembali keluar sebelum empat puluh hari, maka darah tersebut termasuk darah nifas. Pada saat itu, ia tidak diperbolehkan mengerjakan shalat maupun puasa. Setelah darah tersebut berhenti, maka ia boleh melaksanakan mandi dan tidak perlu mengganti shalat yang telah ditinggalkan, kecuali puasa.


13. Apabila Mengeluarkan Darah Setelah Bersuci Lima Belas Hari

Apabila wanita muslimah melihat darah keluar selama satu hari satu malam, setelah bersuci pada hari ke lima belas (setelah masa nifasnya selesai), maka yang keluar itu di anggap sebagai darah haid. Akan tetapi, apabila darah yang keluar kurang dari satu hari satu malam, maka darah itu dianggap sebagai darah kotor dan ia boleh mengerjakan shalat atau puasa.

Apabila ia mengeluarkan darah kembali dua atau tiga hari, maka darah tersebut termasuk darah nifas. Sedang apabila mengeluarkan darah dan pada keesokan hari suci, maka mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat: Menurut para ulama Hanafi, keadaan seperti itu dianggap sebagai nifas. Menurut para ulama Hanbali, keadaan seperti itu dianggap masa suci. Menurut para ulama Syafi'i, apabila keluar tepat pada lima belas hari atau lebih, maka ia dianggap suci dari masa nifas dan apabila sebelum dari lima belas hari, maka masih dianggap sebagai masa nifas. Sedangkan menurut para ulma Maliki, apabila berhentinya darah itu berlangsung selama setengah bulan, maka hal itu dianggap sebagai masa suci. Adapun darah yang keluar sesudahnya merupakan darah haid. Apabila kurang dari setengah bulan, maka masih termasuk darah nifas. Diperkirakan masa maksimal nifas itu adalah dijumlahkannya seluruh hari-hari dari keluarnya darah dengan pemisahan hari-hari berhentinya, sehingga keluarnya darah itu berjumlah enam puluh hari. Demikian akhir dari masa nifasnya. Pada hari-hari berhentinya darah, wanita yang menjalani masa nifas ini berkewajiban untuk mengerjakan apa yang harus dikerjakan oleh wanita yang tengah berada dalam keadaan suci seperti shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya.


14. Thalak dan 'Iddahnya Wanita Pada Masa Nifas

'Iddah itu berlaku terhitung sejak dijatuhkannya thalak, tanpa di pengaruhi oleh masa nifas. Karena, apabila thalak terjadi sebelum proses melahirkan, maka masa 'iddah dari thalak berakhir dengan proses kelahiran, baik menunggu kelahiran itu lama maupun sebentar dan tidak harus menunggu masa nifas. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Perempuan-perempuan yang hamil, masa 'iddah mereka adalah sampai melahirkan." (Al-Thalaq: 4) 

Sedang apabila thalak itu terjadi setelah proses melahirkan, maka seorang istri harus menunggu sampai datangnya masa haid berikutnya.

Permasalahan

Apabila seorang wanita muslimah mengeluarkan darah haid beberapa saat setelah masuknya waktu shalat, yang memungkinkan baginya untuk mengerjakan shalat, akan tetapi ia belum sempat mengerjakannya, maka shalat itu tetap terhitung kewajibannya dan ia harus mengqadha'nya pada waktu yang lain (setelah ia suci).

Apabila sebelum masa haid menjelang ia masih memiliki kesempatan untuk melakukan takbiratul ihram, maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat yang ditinggalkannya itu.

Apabila darah haid itu berhenti pada waktu shalat Ashar, maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat dzuhurnya. Atau apabila berhenti pada waktu shalat Isya', maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat maghribnya.

Ia tidak lagi dibebani kewajiban mengerjakan shalat, apabila telah sempat mengerjakan satu raka'at penuh, sebelum masa haid menjelang. Ketika itu, ia berkewajiban untuk mengerjakan shalat, baik kesempatan yang diperolehnya tersebut berlangsung pada awal waktu maupun pada akhir shalatnya.

Apabila seorang wanita mengeluarkan darah haid pada sekitar satu raka'at dari pelaksanaan shalatnya setelah tenggelam matahari, maka ia berkewajiban untuk mengqadha' shalat maghrib yang ia tinggalkan. Karena, ia sempat memasuki waktu shalat maghrib, yaitu sekitar satu rakaat sebelum mengeluarkan darah haid.

Permaalahan

Apabila seorang wanita telah suci dari hadi pada waktu sekitar satu raka'at dari pelaksanaan shalat sebelum terbitnya matahari, maka ia berkewajiban untuk mengqadha' shalat subuhnya ketika sudah dalam keadaan suci. Karena, ia sempat memasuki waktu shalat subuh dalam keadaan suci dari haid untuk mengerjakan satu raka'at. Akan tetapi, apabila waktu itu tidak mencukupi untuk mengerjakan satu raka'at penuh, seperti ia mengeluarkan darah haid sesaat setelah waktu maghrib, maka ia tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: 

"Barang siapa telah melakukan satu raka'at dari shalat pada waktunya, maka ia telah mendapatkan shalat tersebut." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Pengertian hadits diatas adalah, bahwa orang yang mendapatkan waktu shalat kurang dari satu raka'at, maka ia tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat sevara penuh.

Permasalahn

Barang siapa telah melakukan satu raka'at shalat ashar setelah ia suci dari haid, maka ia tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat zhuhur. Ini menurut pendapat Abu Hanifah.


15. Wanita Yang Mengeluarkan Darah Sebelum Melahirkan

Apabila wanita hamil yang mendekati masa kelahiran mengeluarkan darah, maka darah tersebut termasuk nifas, dimana ia harus meninggalkan shalat dan puasa, sedang ia hanya berkewajiban untuk mengqadha hutang puasanya saja.


16. Wanita Yang Mengeluarkan Darah Ketika Usia Lima Puluh Tahun

Apabila seorang wanita muslimah mengeluarkan darah ketika usianya mencapai lima puluh tahun, maka ia tidak perlu meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, ia perlu mengqadha' puasanya sebagai tindakan ihtiyathi (preventif). Sedang apabila ia mengeluarkan darah setelah mencapai usia enam puluh tahun dan ia berkeyakinan bahwa itu bukan darah haid, maka ia boleh mengerjakan puasa dan shalat serta tidak perlu mengqadha' puasanya.



Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)