Mandi Besar
1. Ketetapan Mandi Besar
Hendaklah seorang muslim/h mengetahui, bahwa mandi besar itu ditetapkan melalui Al-Qur'an dan juga Hadist. Di antaranya adalah firman Allah Azza wa jalla:
"Dan jika kamu junub, maka mandilah." (Al-Maidah: 6)
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam bersabda:
"Apabila dua kemaluan saling bersentuhan maka telah di wajibkan atas keduanya untuk mandi." (HR.Muslim)
Mandi di sini adalah membasahi seluruh tubuh dengan air. Menetapkan niat dalam mandi ini hal yang wajib bagi laki-laki maupun perempuan.
2. Hal-hal Yang Mewajibkan Mandi
a. Keluarnya mani karena syahwat, baik dalam tidur maupun tidak.
Keluarnya mani yang disertai perasaan nikmat mewajibkan untuk mandi, baik itu dalam keadaan tidur maupun tidak. ini merupakan pendapat para fuqoha secara umum dan tidak ada perdebatan pendapat dalam masalah tersebut. Hal ini sebagai mana diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa Ummu Sulaim pernah bertanya:
"Wahai Rasulallah, seseungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran, (maka aku pun tidak malu untuk bertanya): Apakah wanita wajib mandi bila bermimpi? Rasulallah menjawab: Ya, apabila ia melihat air mani setelah ia bangun." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Air mani laki-laki itu berwarna putih dan kental, sedang bagi wanita berwarna kuning dan encer. Apabila ada sesuatu yang keluar menyerupai mani yang diakibatkan oleh rasa sakit atau cuaca dingin dengan tidak di sertai syahwat, maka hal itu tidak mewajibkan mandi. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Sedngkan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang demikian itu mewajibkan mandi. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulallah yang artinya: Apabila ia mengeluarkan air mani." Juga karena air mani yang keluar mewajibkan mandi, sebagaiana ketika keluar mani pada saat tidak sadarkan diri.
Apabila seorang wanita bermimpi, tetapi ia tidak melihat bekas dari keluarnya mani setelah ia bangun, maka ia tidak berkewajiban mandi. Para ulama telah bersepakat pada ketetapan tersebut. Karena, wanita tersebut tidak melihat adanya bekas air yang keluar, sedangkan itu merupakan syarat wajibnya mandi.
Apabila ia terbangun dari tidurnya dan menemukan sesuatu yang basah di celananya, tetapi ia tidak mengetahui apakah yang keluar itu, maka yang lebih afdhal baginya adalah mandi. Apabila melihat bekas seperti mani yang menempel pada pakaiannya setelah ia mengerjakan shalat, maka ia berkewajiban mandi serta mengulangi kembali shalat yang telah dikerjakan sebelumnya. Apabila dalam satu kain ditiduri oleh dua orang wanita, kemudia salah seorang dari keduanya yakin bahwa bekas yang menempel pada pakaiannya itu di karenakan tidur berdua, maka ia wajib mandi dan mengulangi shalatnya. Akan tetapi, apabila ragu, maka ia tak wajib mandi dan mengulangi shalatnya.
b. Apabila seorang istri dicumbu selain pada kemaluannya
Apabila sorang suami mencumbui istrinya selain pada kemaluannya, lalu air mani sang suami keluar mengenali kemaluan istrinya, kemudian sang istri pun merasakan hal yang sama, maka sang istri juga berkewajiban mandi. Sedang apabila seorang suami mencumbui istrinya, lalu air maninya keluar mengenai kemaluan istrinya, kemudian sang istri mandi dan setelah itu ia (sang istri) baru mendapatkan sesuatu yang menyerupai mani keluar dari kemaluannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak ada kewajiban baginya untuk mamdi lagi. Ini adalah pendapat Qatadah, Auza'i dan Ishak.
Kedua, ia berkewajiban mandi. karena air yang menyerupai mani itu telah keluar dari kemaluannya, dimana ini merupakan pendapat Al-Hasan.
Mengenai masalah yang terakhir ini, penulis berpendapat: "Yang lebih tepat adalah pendapat pertama. "Juga apabila seorang suami telah memasukan kemaluannya kedalam kemaluan istrinya, meskipun tidak mengeluarkan mani, maka sang istri berkewajiban untuk mandi.
Apabila seorang istri bermimpi atau telah berhubungan badan dengan suami dan ia telah mandi, lalu setelah buang air kecil (kencing), ia mendapati air yang menyerupai mani tersebut keluar lagi, maka ia tidak berkewajiban untuk mandi. Karena, yang keluar itu tanpa disertai dengan syahwat.
Adapun jika cairan tersebut keluar sebelum buang air kecil, maka ia berkewajiban untuk mandi. Sebab, yang keluar itu adalah sisa dari air yang menyerupai mani yang keluar dengan di sertai syahwat.
Apabila seorang suami bersetubuh dengan istrinya dan tidak mengeluarkan mani, lalu ia mandi, akan tetapi setelah itu ia baru mengeluarkan mani, maka ia berkewajiban mengulangi kembali mandinya.
Apabila kemaluan suami bersentuhan dengan kemaluan istri, maka sang istri berkewajiban untuk mandi. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulallah:
"Apabila seorang suami telah duduk diantara anggota tubuh (kaki dan tangan) istrinya yang empat, kemudian kemaluan dari keduanya saling bersentuhan, maka telah wajib atas keduannya mandi." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Diriwayatkan dari Hurairah, bahwa Nabi pernah bersabda:
"Apabila seorang suami telah duduk di antara anggota tubuh (kaki dan tangan) istrinya yang empat dan menjadikannya lelah, maka telah wajib baginya mandi." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Sedangkan Imam Muslim menambahkan lafazh sebagai berikut:
"Meskipun tidak mengeluarkan air mani." (HR. Muslim)
c. Mengislamkan wanita kafir
Apabila Anda mengislamkan wanita kafir, maka wanuta tersebut berkewajiban untuk mandi. Hal ini di dasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu:
"Bahwa Tsumamah Al-Hanafi pernah ditawan (oleh kaum muslimin), lalu Nabi mendatanginya pada pagi hari seraya bertanya: Apa yang kamu kehendaki, wahai Tsumamah? Ia menjawab : Jika engkau hendak membunuhku berarti engkau membunuh orang yang berdarah dan jika engkau benaskan aku, berarti engkau telah membebaskan orang yang tahu berterimakasih. Sedang apabila engkau menghendaki harta, kami akan berikan sebanyak engakau kehendaki. Para sahabat pada saat itu lebih menginginkan tebusan atas dirinya serta berkata : Apa perlunya kita membunuh orang ini ? Kemudian Rasulallah pun membiarkannya dan ia setelah kejadian itu masuk Islam. Lalu Rasulallah membebaskan dan membawanya ke kebun milik Abu Thalhah seraya memerintahkan kepadanya untuk mandi. Maka ia pun mandi dan mengerjakan shalat dua raka'at. Selanjutnya Nabi bersabda: Telah baik Islam saudara kalian ini." (HR. Ahmad yang benar sumber dari Bukhari dan Muslim)
d. Kematian
Menurut ijma ulama, Seorang muslim/h yang meninggal dunia wajib untuk di mandikan. hal ini sesuai dengan perintah Rasulallah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk memandikan putrinya, Zainab, pada saat meninggal dunia.
e. Wanita haid
Apabila seorang wanita yang sedang menjalani masa haid memiliki kewajiban untuk mandi janabat, maka ia tidak harus mandi sehingga haidnya selesai. Karena, mandi saat haid sedang berlangsung tidak berfungsi sama sekali.
f. Wanita nifas
Nifas adalah darah yang keluar disebabkan oleh melahirkan seorang anak. Hukum yang berlaku pada nifas sama seperti haid, baik mengenai hal-hal yang di perbolehkan, diharamkan, diwajibkan maupun dihapuskan. Karena nifas adalah darah haid yang tertahan karena proses kehamilan. Takaran maksimal bagi keluarnya darah nifas ini adalah empat puluh hari.
3. Apabila wanita Yang Sedang Haid Itu Junub
Apabila seorang wanita yang sedang menjalani masa haid memiliki kewajiban untuk mandi janabat, maka ia tidak harus mandi sehingga haidnya selesai. Karena, mandi saat haid sedang berlangsung tidak berfungsi sama sekali. Apabila ia tetap melaksanakan mandi janabat ketika sedang menjalani masa haid, maka mandinya dianggap sah dan dapat menghilangkan janabatnya, sementara hukum haid masih berlaku padanya hingga masa haidnya selesai.
4. Cara Mandi Janabat
a. Membaca basmallah, dengan niat menghilangkan hadats besar melalui mandi. selanjutnya membasuh kedua telapak tangan tiga kali.
b. Beristinja' dan membersihkan segala kotoran yang terdapat pada kemaluan.
c. Berwudhu seperti ketika hendak mengerjakan sholat.
d. Membasuh kepala dan kedua telinga sebanyak tiga kali.
e. Menyiramkan air ke seluruh tubuh. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dimana dia pernah menceritakan:
"Apabila Rasulallah Shallallahu Alaihi wa Sallam hendak mandi janabat beliau memulai dengan membasuh kedua telapak tangan sebelum beliau memasukannya kedalam bejana. Kemudian beliau membasuh kemaluan dan berwudhu' sebagaimana hendak melaksanakan shalat. Lalu beliau menyela-nyela rambutnya dengan air. Setelah itu, beliau menyiram kepalanya tiga kali dan memyiramkan air ke seluruh tubuhnya." (HR. Tirmidzi, dan beliau menshaihkannya)
Dalam mandi janabat, dimungkinkan bagi seorang muslimah membaca basmalah dan berniat, lalu membasuh kedua tangan dan kemaluannya. Kemudian mengguyur seluruh tubuhnya dengan air disertai berkumur dan istinsyaq.
Ketika mandi, wanita muslimah diwakibkan memperhatikan bagian ketiak, lutut dan pusar, sehingga bagian-bagian tersebut benar-benar terkena air. Demikian juga dengan kulit kepala.
5. Hal-hal yang dimakruhkan dalam mandi
a. Mandi di tempat yang mengandung najis. Karena, dikhawatirkan najis tersebut akan mengenai tubuhnya.
b. Mandi di air yang tidak mengalir. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulallah:
"Janganlah salah seorang diantara kalian mandi dalam air yang tidak mengalir, sementara pada saat itu ia dalam keadaan junub." (HR. Muslim)
c. Diwajibkan mandi dibalik tabir (tempat tertutup). Sebagai mana sabda Rasulallah:
"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Malu dan Dia sangat mencintai rasa malu. Karena itu, apabila salah seorang di antara kalian mandi, maka hendaklah ia menutup diri dari pandangan orang lain." (HR. Abu Dawud)
d. Dimakruhkan berlebih-lebihan dalam menggunakan air, Sebagaimana sabda Rasulallah Shallallah Alaihi wa Sallam:
"Janganlah kalian berlebih-lebihan di dalam menggunakan air, meskipun pada saat itu berada di sungai yang airnya mengalir."
Di samping itu, juga diperbolehkan mandi dengan menggunakan empat bejana air. Karena, Rasulallah Shallallah Alaihi wa Sallam pernah mandi dengan menggunakan air sebanyak satu sha', yaitu empat mud.
6. Mandi Haid Sama Seperti Mandi Janabat
Di dalam pelaksanaan mandi seusai masa haid atau pada saat junub, seorang wanita muslimah disunnatkan agar membawa kapas atau potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah atau mani guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu, disunnatkan mengusap bekas darah atau mani dengan minyak ja'faran, atau parfum lainnya atau sabun. Apabila tidak mendapat parfum atau sabun, maka air saja sudah cukup, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Asma':
"Hendaklah salah seorang di antara kalian mengambil daun bidara dan air, kemudian bersuci dengannya sebaik mungkin. Setelah itu menyiramkan air ke kepala dan memijitnya dengan kuat, sehingga meresap sampai ke kulit kepala. Lalu menyiramkan air keseluruh tubuhnya dan setelah itu mengambil potongan kain yang diberi parfum. Kemudian mempergunakannya untuk bersuci." (HR. Muslim)
Apabila seorang wanita mandi janabat atau mandi seusai masa haid, lalu ia hanya berkumur dan beristinsyaq, maka cukup baginya hal itu sebagai pengganti wudhu', meskipun hanya dengan sekali mandi setelah berjima' melainkan hanya sekali. Jima' disini dalam pengertian, baik hanya persentuhan antara kemaluan laki-laki dan perempuan maupun yang mengeluarkan air mani, dimana karena keduannya merupakan sebab diwajibkannya mandi. Untuk itu, satu kali mandi saja sudah cukup mewakili keduanya, sebagaimana mandi dari hadats dan najis. Sementara ketika mandi janabat, seorang wanita muslimah tidak diwajibkan melepas ikatan rambutnya.
a. Menguraikan Rambut Ketika Mandi Janabat
Berkenaan dengan kewajiban menguraikan rambut dan membasahi apa yang berada di tubuh dalam mandi janabat maupun mandi haid dalam hal ini terdapat dua pendapat, yaitu:
Pertama, pendapat Imam Syafi'i yang mewajibkan untuk mengurai rambut ketika mandi. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam:
"Segala sesuatu yang berada di bawah rambut mu wajib janabatnya. Karena itu, basahilah rambut dan bersihkanlah kulit." (HR. Abu Dawud)
Karena, rambut itu tumbuh di tempat yang harus dibasuh, makayhhgf wajib membasuhnya.
Kedua, pendapat Abu Hanifah yang tidak mevh cewajibkannya, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
"Cukup bagimu mengguyur kepala sebanyak tiga kali."
b. Apabila Ada Bagian Yang Tidak Terkena Air
Apabila wanita muslimah mengetahui ada bagian dari tubuhnya yang tidak terkena air, maka hendaklah ia membasahinya atau mengusapnya dengan tangan. Sebab, yang demikian itu sudah cukup baginya. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, dimana ia menceritakan:
"Ada seseorang datang kepada Nabi seraya berkata : Sesungguhnya aku telah mandi janabat dan mengerjakan shalat. kemudian aku menerangi diriku dan ternyata masih melihat ada bagian dari tubuh -sebesar kuku- yang tidak terkena air. Maka Rasulallah menjawab : Seandainya kamu mengusapnya dengan air, maka itu sudah cukup bagimu." (HR. Ibnu Majah)
c. Apabila Wanita Yang Sedang Haid, Junub atau Yang Baru Masuk Islam Membenamkan Tangan Kedalam Air
Apabila wanita yang sedang haid, junub atau yang baru masuk Isalam membenamkan tangan mereka kedalam air, maka air tersebut tetap dalam keadaan suci, selama di tangan mereka pada saat itu tidak terdapat najis. Karena, badan mereka pada dasarnya adalah suci. Adapun najis yang disebankan oleh haid, junub atau kekufuran itu tidak mengubah air menjadi najis. Dalil yang menjadi landasan untuk pendapat ini adalah hadits tentang seorang wanita yang bercerita, bahwa ia pernah membenamkan kedua tangannya kedalam air, sedang saat itu ia dalam keadaan junub. Lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: "Air itu tidak najis.'"
7. Mandi-mandi Yang Disunnatkan
Mandi yang disunnatkan adalah yang apabila dilakukan, maka pelakunya akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Diantaranya:
a. Mandi pada hari Jum'at
Mandi pada saat hendak melaksanakan shalat Jum'at bukanlah suatu hal yang diwajibkan, yang apabila ditinggalkan tidak memberikan mudharat. akan tetapi, hal tersebut disunnatkan, karena dapat menghilangkan keringat dan bau badan yang tidak sedap. Adapun waktu mandi pada hari Jum'at itu di mulai dari terbitnya fajar sampai memasuki waktu shalat Jum'at. Yang lebih utama adalah saat hendak berangkat menuju masjid. Apabila ditengah jalan terkena hadats, maka cukup disucikan dengan berwudhu' saja. Mandi setelah pelaksanaan shalat Jum'at tidak lagi di kategorikan sebagai mandi yang disunnatkan. Sebagian ulama mewajibkan mandi pada hari Jum'at, meskipun tidak terdapat kotoran yang menempel dibadan. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Hurairah, dimana Rasulallah shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
"Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mandi minimal satu kali dalam setiap tujuh hari, dimana pada saat itu ia membasuh kepala dan seluruh tubuhnya." (HR. Bukhari, Muslim)
b. Mandi pada hari raya Idul Fitri dan idul Adhha
Tidak ada haidts shahih yang membahas mengenai masalah mandi pada hari raya 'Idul Fitri maupun 'Idul Adhha. Akan tetapi, para ulama menganjurkan untuk mandi pada kedua hari raya tersebut.
c. Mandi ketika hendak melakukan ihram
Menurut jumhur ulama, mandi bagi wanita yang hendak melakukan ihram merupakan amalan yang disunnatkan. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Zaid bin Tsabit:
"Bahwasanya ia pernah melihat Rasulallah melepaskan pakaian ihramnya, lalu beliau mandi." (HR. Daruquthni, Baihaqi, Tirmidzi dan beliau menghasankannya)
d. Mandi ketika hendak masuk kota Mekkah
Disunahkan mandi bagi kita yang hendak melakukan wuquf di Arafah. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik, bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu pernah mandi sebelum berihram, pada saat memasuki kota Makkah dan ketika hendak wuquf (pada sore hari) di pada Arafah.
8. Rukun Mandi
Hal-hal yang termasuk rukun mandi adalah:
1. Niat.
2. Berkumur dan beristinsyaq disertai guyuran air ke seluruh tubuh.
9. Beberaa Hal Yang Disunnatkan Dalam Mandi
1. Membasuk kedua tangan sebanyak tiga kali.
2. Membasuh kemaluan.
3. Berwudhu' secara sempurna seperti hendak melakukan shalat.
4. Menyiramkan air ke seluruh tubuh, yang di mulai dari setengah bagian sebelah kanan dan kemudian setengah bagian kiri.
5. Mengguyur air ke seluruh tubuh, yang dari setengah bagian sebelah kanan dan kemudian setengah bagian sebelah kiri.
6. Membasuh kedua ketiak, pusar dan kedua lutut.
10. Mandi Bagi Orang Yang Tersadar dari Pingsan
Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia bercerita:
"Ketika Rasulallah mengalami sakit yang cukup berat, beliau bertanya: Apakah para sahabat sudah mengerjakan shalat? Aisyah menjawab: Belum, karena mereka menunggu engkau. Lalu beliau berkata: Ambilkan air untukku. Maka kami segera mengambilnya. Kemudian Rasulallah mandi dan pada saat hendak berangkat beliau terjatuh pingsan, lalu tersadar seraya bertanya kembali: Apakah para sahabat sudah mengerjakan shalat? Kami pun menjawab: "Belum, Karena mereka masih menunggumu. Rasulallah terjatuh dan pingsan sebanyak tiga kali, dimana beliau melaksanakan mandi pada saat tersadar. Sedangkan para sahabat pada saat itu tengah beri'tikaf di masjid karena menunggu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam guna mengerjakan shalat Isya' berjama'ah. Lalu Rasulallah mengirim utusan kepada Abu Bakar agar ia memimpin shalat bersama para sahabat. Sang utusan itu pun menemui Abu Bakar seraya berkata: Sesungguhnya Rasulallah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan engkau agar memimpin shalat (mengimami) bersama para sahabat. Umar pun menjawab: Engkau lebih berhak untuk itu, wahai Abu Bakar. Maka Abu Bakar mengimami shalat berjama'ah selama Rasulallah menderita sakit. Setelah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam merasa sedikit sehat, beliau pergi ke masjid dengan di dampingi dua sahabat, yang salah satunya adalah Abbas, untuk ikut melaksanakan shalat dzuhur. Pada saat itu, Abu Bakar sedang menjadi Imam shalat. Ketika melihat beliau, Abu Bakar bermaksud untuk mundur. Maka Rasulallah berkata kepada kedua sahabat yang mendampingi beliau: Dudukanlah aku di sebelah Abu Bakar. Maka kedua sahabat itu mendudukan beliau di sebelah Abu Bakar. Setelah itu, Abu Bakar mengikuti shalat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, sedangkan para sahabat mengikuti shalat Abu Bakar. Pada saat itu, Nabi mengerjakan shalat dengan posisi duduk." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Hadits ini mempunyai banyak manfaat, yang diantaranya adalah digunakan sebagai dalil bagi disunnatkannya mandi atas orang tersadar dari pingsannya, dimana hal itu telah di contohkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sebanyak tiga kali.