"Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, kami berlayar di laut dan hanya membawa sedikit air sebagai bekal. Jika kami pergunakan air tersebut untuk berwudhu', maka kami akan kehausan. Untuk itu, apakah kami boleh berwudhu' dengan menggunakan air laut? Rasulullah menjawab: Air laut itu suci dan mensucikan, dimana bangkai hewan yang berada di dalamnya pun halal." (HR. Al-Khamsah)
Imam At-Tirmidzi mengatakan: "Ini adalah hadits hasan shahih." Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengenai hadits ini dan beliau mengatakan, bahwa ini adalah hadits shahih.
2. Air hujan
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
"Dan Allah telah yang menurunkan kepada kalian air hujan dari langit, untuk mensucikan kalian." (Al-Anfal: 11)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
"Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih." (Al-Furqan: 48)
Pendapat mengenai kesucian air tersebut di atas yang dapat dipergunakan untuk bersuci juga disandarkan pada hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dimana ia menceritakan:
"Apabila Rasulullah telah bertakbir di dalam shalatnya, beliau berdiam sejenak. Lalu aku bertanya: Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, apa yang engkau baca tatkala berdiam di antara takbir dan bacaan Al-Fatihah di dalam shalatmu? Beliau menjawab: Aku mengucapkan do'a: Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana kain putih yang dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalah-
anku dengan es, air dan embun." (HR. Jama'ah, kecuali Imam At-Tirmidzi)
Demikian halnya dengan air laut, sumber-sumber air, telaga dan sungai.
3. Air salju/es
4. Air embun
5. Air zamzam (air sumur)
Pendapat ini didasarkan pada hadits dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
"Bahwa Rasulullah pernah meminta diambilkan satu wadah air zamzam, lalu beliau meminum sebagian dari air tersebut dan berwudhu' dengannya." (HR. Ahmad)
6. Air yng berubah karena lama tidak mengalir.
Air jenis ini yang di sebabkan oleh tempatnya, yaitu karena tercampur dengan sesuatu yang memang tidak bisa dipisahkan dari air itu sendiri, seperti lumut atau daun yang berada di permukaan air, dalam hal ini para ulama telah bersepakat menyebutnya air mutlak.
B. Debu yang suci
Yaitu debu suci yang berada dibpermukaan tanah, pasir, dinding atau batu. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:
جعلت لي الأرض مسجدًا وَطَهُورًا. رواه أحمد
"Dijadikan bumi ini bagiku sebagai masjid, yang berarti suci." (HR.Ahmad)
Dengan demikian, tanah atau debu dapat digunakan untuk bersuci atau mensucikan ketika tidak ditemukan air atau ketika terdapat larangan menggunakan air karena sakit dan sebagainya. Sebagaimana yang juga difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla:
"Kemudian kalian tidak menemukan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci)." (An-Nisa': 43)
Juga berdasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sebuah haditsnya:
"Sesungguhnya tanah itu dapat mensucikan bagi orang Islam, meskipun dia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Akan tetapi setelah dia menemukan air, maka hendaklah dia mengusapkan air tersebut ke kulitnya (bersuci dengannya)." (HR. At-Tirmidzi)
Mengenai status hadits ini, Imam At-Tirmidzi menghasankannya. Di samping itu juga didasarkan pada keputusan Rasulullah pada saat memerintahkan 'Amr bin Al-'Ash untuk bertayamum sebagai ganti dari mandi
janabat pada malam yang sangat dingin, dimana ia mengkhawatirkan akan kondisi dirinya apabila mandi dengan air yang dingin tersebut, (Diriwayatkan Bukhari) sebagai komentar.
C. Air yang tercampur oleh sesuatu yang suci
Sesuatu yang suci misalnya, minyak za'faran, tepung dan lain sebagainya yang memang secara dzat ia terpisah dari air, maka hukum air ini adalah suci selama masih terjamin kemutlakannya. jika telah keluar dari kemutlakannya, dimana tidak dapat lagi disebut sebagai air mutlak maka air tersebut tetap suci akan tetapi tidak dapatan mensucikan.
D. Air dalam jumlah yang banyak apabila berubah warnanya karena tidak mengalir
Menurut kesepakatan para ulama, jika air berubah karena tersimpan dan terdiam disuatu tempat (yang tertutup), maka ia tetap suci adanya. Adapun air pada sungai yang mengalir, jika diketahui bahwa airnya berubah karena tercampur oleh benda najis, maka air sungai itu menjadi najis, sedang apabila tercampuri oleh sesuatu yang suci dan sesuatu yang najis, yang dapat merubahnya, tetapi masih di ragukan perubahannya, maka tidak dapat di sebut najis, hanya karena bersandar pada keraguan semata.
E. Air Musta'mal
Yang dimaksud dengan air musta'mal disini adalah air yang sudah terpakai atau terjatuh dari anggota badan orang yang berwudhu. air seperti ini tetap suci keberadaannya sebagaimana air mutlak dan tidak ada satu dalil pun yang mengeluarkan dari kesuciannya (menyatakan tidak suci).
Mengenai sifat wudhu' Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan dari Rubai' bin Mu'awwidz, bahwa ia menceritakan:
"Rasulullah pernah membasuh kepala dengan sisa air wudhu' yang masih bera-
da di kedua tangannya." (HR. Ahmad). Sedangkan menurut riwayat Abu Dawud
dinyatakan dengan menggunakan lafazh:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ مَسَحَ رَأْسَهُ مِنْ فَضْلِ مَاء كَانَ بِيَدِهِ. رواه أبو داود
"Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membasuh kepala dengan sisa air yang terdapat pada tangannya." (HR. Abu Dawud)
"Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertemu dengannya di suatu jalan di Madinah, sedang ia tengah berada dalam keadaan junub. Lalu ia menyelinap dari pandangan beliau untuk pergi dan mandi. Setelah itu, ia datang menghadap Rasulullah dan beliau pun bertanya: Kemana kamu tadi, wahai Abu Hurairah? Ia menjawab: Sesungguhnya aku tadi sedang junub, oleh itu aku tidak suka duduk bersamamu dalam
keadaan tidak suci. Maka beliau pun bersabda: Maha suci Allah, sesungguhnya orang mukmin itu tidaklah najis." (HR. Jama'ah)
Analogi dari pengertian hadits di atas adalah, bahwa seorang muslim/h itu tidaklah najis ketika dalam keadaan junub. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menjadikan air hilang kesuciannya hanya karena persentuhannya dengan tubuh manusia. Sebab, pada dasarnya hal itu merupakan pertemuan antara sesuatu yang suci (tubuh manusia) dengan sesuatu yang suci lainnya (air), sehingga tidak memberikan pengaruh sama sekali. Ibnu Mundzir berkata: Diriwayatkan dari Ali, dari Ibnu Umar, dari Abu Umamah, dari Atha', Hasan dan dari Makhul Al-Nakha'i; dimana mereka berpendapat mengenai orang yang lupa membasuh kepala, lalu mendapatkan sisa air pada jenggotnya, maka cukup baginya membasuh kepala dengan sisa air yang ada pada jenggot tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa mereka berpendapat: Air musta'mal (yang sudah terpakai) itu dapat mensucikan. Ini juga merupakan pendapat yang dikemukan dalam salah satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Syafi'i, dimana pendapat tersebut dinisbatkan Ibnu Hazm kepada Sufyan Ats-Tsauri dan Abu Tsaur serta seluruh penganut dari Dawud Adh-Dhahiri.
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman ia berkata, bahwa Rasulullah pernah bertemu dengannya, sedang ia dalam keadaan junub. Lalu ia menghindar dari beliau dan pergi mandi. Kemudian ia datang kembali seraya mengucapkan: Aku tadi tengah berada dalam keadaan junub, untuk itu aku menghindar. Rasulullah kemudian menjawab dengan bersabda: "Sesungguhnya seorang muslim itu tidaklah najis." (HR. Jama'ah, kecuali Imam Bukhari dan At-Tirmidzi)
Menurut jumhur ulama, anggota badan seorang muslim itu senantiasa
dalam keadaan suci, karena kebiasaannya menghindari hal-hal yang bersifat
najis. Berbeda dengan orang musyrik itu, karena orang musyrik tidak berusaha
untuk menghindari najis. Pendapat tersebut didasarkan pada firman Allah Azzawa Jalla:
"Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis." (At-Taubah: 28)
Berkenaan dengan ayat tersebut di atas, maka yang dimaksudkan adalah, bahwa orang-orang musyrik itu najis dan kotor pada akidah mereka. Yang menjadi hujjah (argumentasi) para ahli terhadap kebenaran tafsiran tersebut adalah, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala membolehkan menikahi wanita-wanita ahlul kitab (pada masa itu). Karena, sebagaimana diketahui, bahwa keringat wanita-wanita ahlul kitab tersebut tidak akan pernah lepas dari badan laki-laki muslim yang menikahinya. Dengan demikian, tidak ada kewajiban memandikan wanita ahlul kitab melainkan seperti apa yang diwajibkan di dalam memandikan wanita muslimah.
F. Air Yang Terkena Najis
Mengenai air yang terkena najis ini ada dua macam keadaan, yaitu:
Pertama: Jika najis yang mengenai air itu merubah rasa, warna atau baunya. Menurut kesepakatan para ulama, air yang berada dalam kondisi seperti itu tidak boleh dipergunakan untuk bersuci.
Kedua: Jika air masih tetap dalam keadaansuci dan mensucikan, dimana salah satu dari ketiga sifatnya (rasa, warna dan
bau) itu tidak ada yang berubah. Pada keadaan seperti ini, air tetap suci dan
mensucikan. Dalil yang menjadi landasannya adalah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dimana ia menceritakan:
قَامَ أَعْرَابِيُّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَامَ إِلَيْهِ النَّاسُ لِيُقَعُوا بِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ، دَعُوهُ وَأَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَحْلاً مِنْ مَاءٍ، أَوْ ذُنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسْرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ. ورواه الجماعة إلا مسلم الله
"Ada seorang badui yang kencing di masjid. Lalu para sahabat berdiri menghampiri badui tersebut untuk memarahinya. Akan tetapi, Nabi melarang para shahabat dengan berkata: Biarkanlah ia, dan siramlah
air kencingnya itu dengan satu ember atau satu geribah. Karena sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan bukan untuk mempersulit." (HR. Jama'ah, kecuali Imam Muslim)
Juga hadits dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu, dia berkata:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنتَوَضَأَ مِنْ بشر بُضَاعَةَ؟ فَقَالَ : الْمَاء طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شيء. ورواه أحمد والشافعي وأبو داود والنسائي والترمذي
"Pernah ditanyakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, apakah kita akan berwudhu' dengan air sumur Bidha'ah (salah satu sumur yang ada di kota Madinah yang biasa digunakan untuk membuang kain bekas pembalut wanita, daging anjing serta kotoran-kotoran lain,)? Beliau menjawab: Air itu suci dan mensucikan, tidak dinajiskan oleh sesuatu apapun." (HR. Ahmad, Asy-Syafi'i, Abu Dawud, An-Nasa'i dan At-Tirmidzi)
Mengenai hadits ini, Imam At-Tirmidzi mengatakan berstatus hasan. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan, bahwa hadits mengenai sumur Bidha'ah ini berstatus shahih dan dishahihkan oleh Yahya bin Ma'in serta Abu Muhammad bin Hazm.
G. Air Yang Jumlahnya Mencapai Dua Kullah
Ada hadits dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
"Apabila jumlah air itu mencapai jumlah dua kullah," maka air itu tidak mengandung kotoran (tidak najis)." (HR. Khamsah)
Sanad dan matan hadits ini berstatus mudhtharib (kontradiksi, diragukan). Di dalam muqaddimah (pendahuluan) kitabnya, Ibnu Abdil Barri mengatakan: "Yang menjadi landasan dari pendapat Imam Asy-Syafi'i mengenai hadits dua kullah ini merupakan pendapat yang lemah dari sisi teori dan tidak permanen dari sisi atsar. Kemudian Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah telah menetapkan air yang tidak menjadi najis karena terkena atau bercampur benda najis, yaitu selama tidak berubah sifatnya sebanyak dua kullah atau lima geribah."
Sementara para sahabat beliau menafsirkannya dengan lima ratus rith! (1
rithl=2564 gram). Sedangkan penganut madzhab Hanafi menetapkan dua kullah itu sama dengan tempat air yang besar yang satu sisinya tidak goyang apabila sisi lainnya
digerakkan. Mereka yang tidak menggunakan ukuran dua kullah terpaksa menggunakan ukuran semisal dengannya dalam menentukan jumlah air yang banyak.
Misalnya adalah penganut madzhab Maliki. Atau diberikannya semacam rukhshah (keringanan) pada telaga di padang pasir yang terkena tahi unta.
G. Air Yang Tidak Diketahui Kedudukannya
Rasulallah pernah melakukan suatu perjalanan pada malam hari, dimana beliau dan para sahabat melewati seorang yang tengah duduk dipinggir kolam yang berisi air. Kemudian Umar Ra bertanya? : "Apakah ada binatang buas yang minum dikolam mu ini pada malam hari ? " maka Rasulallah berkata : "Wahai pemilik kolam, jangan engkau beritahukan kepadanya (Umar), karena itu suatu hal yang keterlaluan (mempersulit diri sendiri)." HR. Ahmad dan Baihaqi
Demikian juga terhadap air yang berada dijalan, selama anda tidak mengetahui kedudukannya. karena itu, apabila anda menemukan atau melihat air disuatu tempat, sedang anda tidak mengetahui kesuciannya, maka air tersebut tetap suci. Sebab Allah tidak membebani anda untuk mencari hakikat air tersebut.